Skip to content

Muasal Perpustakaan

Ditulis oleh putubuku di/pada April 7, 2008

Pemikir bidang kepustakawanan Ranganathan yang berasal dari India dan berkiprah di Inggris mengeluarkan ‘hukum’ yang amat terkenal tentang hakikat perpustakaan. Ia bilang perpustakaan adalah wujud dari lima prinsip, yaitu: “Books are for use; every reader his book; every book its reader; save the time of the reader, and of the staff; a library is a growing organism”. Jika diterjemahkan secara umum, maka terbaca:

Buku adalah untuk dibaca. Setiap orang memerlukan buku, setiap buku memiliki pembaca. Hematlah waktu pembaca, dan waktu pustakawan. Perpustakaan adalah organisme yang tumbuh.

Pernyataan Ranganathan di atas sungguh membesarkan hati para pustakawan, terutama karena menegaskan bahwa perpustakaan pasti ada kegunaannya, dan pasti tumbuh sebagaimana organisme lainnya di jagat ini. Selain itu, terlihat pula betapa erat hubungan perpustakaan dengan buku (yang secara umum dapat dilihat sebagai segala macam tulisan yang terdokumentasi, baik terbuat dari kertas maupun bukan). Sebab itulah, ‘hukum’ ini kemudian menjadi semacam ’sumpah-setia’ pustakawan kepada profesi dan institusinya, serta kepada kegiatan mulia yang kita sebut membaca itu.

Namun ‘hukum’ Ranganathan ini terkadang menimbulkan penasaran, karena belum menjawab pertanyaan yang sering menghantui kita, yaitu kenapa perpustakaan lahir? Pertanyaan ini lebih mendasar daripada pertanyaan tentang apakah perpustakaan ada gunanya? Pertanyaan tentang kelahiran perpustakaan di masyarakat menyentuh langsung jati-diri pustakawan, persis seperti pertanyaan semua manusia tentang dari mana saya berasal, siapa nenek moyang saya?

Salah satu penulis yang ingin menjawab asal muasal perpustakaan adalah Williams (1981), yang mencoba membahas mengapa sebuah masyarakat memiliki perpustakaan dan bagaimana kepustakawanan lahir lalu berkembang di masyarakat itu. Ia mengatakan tentang setidaknya ada tiga model atau pola kelahiran kepustakawanan, yaitu:

  1. Kepustakawanan dihasilkan oleh keinginan untuk melestarikan kebudayaan, kebanggaan pada bangsa, penguatan pendidikan, penyediaan tenaga terampil, pernerapan agama, dan pengembangan ekonomi.
  2. Kepustakawanan sebagai institusi dalam ‘tradisi demokratik’ untuk mendukung anggota masyarakat agar mampu berpartisipasi dalam demokrasi.
  3. Kepustakawanan adalah upaya elit dan cendekia untuk mengendalikan perubahan sosial agar tertib dan terarah.

Dari pendapat Williams itu, kita dapat bertanya lebih lanjut: pola mana yang tepat untuk Indonesia? Bagaimana kepustakawanan lahir di negeri ini?

Menurut penulis kepustakawanan di Indonesia lebih mudah dilihat sebagai generalisasi ketiga. Dalam kesempatan sebelumnya (lihat Pendit, 1993), penulis mencoba menjelaskan keterkaitan antara pertumbuhan perpustakaan dan kehadiran ‘golongan menengah’ serta ide tentang demokrasi di Indonesia. Jika dilacak sampai ke pembentukan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur), jelas terlihat bahwa awal pertumbuhan kepustakawanan di negeri ini merupakan upaya elit kolonial untuk mempertahankan dominasi politik dan ekonomi mereka secara lebih halus (sering disembunyikan di balik istilah ‘politik etis’).

Sewaktu baru merdeka, Indonesia praktis tidak punya apa-apa, lalu mengambil alih begitu saja peninggalan Belanda (dalam bentuk ribuan taman bacaan lengkap dengan koleksinya), dan meneruskannya. Sampai sekarang, ketergantungan kepustakawanan Indonesia terhadap pemerintah tetap besar, sehingga ciri-cirinya sangat dipengaruhi oleh ciri elit yang berkuasa di Indonesia. Belum pernah dalam sejarah kepustakawanan Indonesia terlihat ada kelompok lain yang mampu menjadi alternatif dari ‘kepustakawanan negara’ ini.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, tampak bahwa Kepustakawanan Indonesia mulai memperlihatkan ciri keinginan bangsa untuk melestarikan dan memuliakan kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan lokal. Juga mulai muncul warna-warna samar demokratisasi dalam akses informasi, khususnya setelah teknologi informasi berkembang dan menyediakan fasilitas kemudahan akses.

Kepustakawanan akhirnya memang a growing organism seperti yang dipikirkan Ranganathan; namun terlebih penting lagi, kepustakawanan memerlukan lingkungan dan dorongan untuk tumbuh. Lingkungan dan dorongan ini bukan muncul begitu saja dari langit  -keduanya adalah rekayasa sosial juga adanya.

Bacaan:

Pendit, P.L. (1993), Perpustakaan Umum, “Golongan Menengah” dan Demokratisasi: sebuah tinjauan awal tentang sejarah peran perpustakaan umum dalam masyarakat Indonesia, Laporan Penelitian yang dibiayai Dana DIP OPFSUI 1993 / 1994, tidak diterbitkan.

Williams, R.V. (1981), “The Public Library as the Dependent Variable: Historically Oriented Theories and Hypotheses of Public Library Development” dalam Libraries & Culture, Donald G. Davis Jr. (ed.), University of Texas Press : Austin.

Sumber diambil dari http://iperpin.wordpress.com/tag/ranganathan/

Published inlibrary sciences