Pustakawan di Era Globalisasi

Pendahuluan
Globalisasi informasi merupakan proses yang berlangsung paling cepat karena kemajuan teknologi media cetak dan elektronik, komputerisasi, sistem digital, dan sebagainya. Perkembangan globalisasi sebagai hasil dari perkawinan kepentingan ekonomi dan kemajuan teknologi membawa pada banyak persoalan, salah satunya mengenai nasib institusi pendidikan. Di mana dunia pendidikan tidak terlepas dari peran perpustakaan. Hal ini sesuai dengan UU No.2 tahun 1999 tentang Pendidikan Nasional bahwa salah satu sarana untuk mecerdaskan bangsa adalah dibentuk suatu perpustakaan di tiap tingkat sekolah (dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi). Laju kemajuan teknologi informasi telah menggempur dinding-dinding sekolah/kampus, menawarkan keterbukaan baru dalam mendapatkan pengetahuan. Bidang pembangunan infrastruktur jaringan teknologi informasi seperti internet dan intranet mempercepat arus informasi yang beragam. Pembangunan server intranet sebagai salah satu bagian pembangunan infrastruktur teknologi informasi sangat dibutuhkan untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat menjelang era globalisasi.

Pembangunan web server intranet yang merupakan server untuk penyedia akses/sumber informasi di internet dirasakan sangat penting dan mendesak ini dikarenakan pertumbuhan dan kebutuhan pengguna internet di seluruh dunia.

Data pengguna internet tahun 2006 dapat dilihat sebagai berikut :

Pengguna Internet di Indonesia Januari 2004-Maret 2005

Siapapun tanpa kenal ras, agama, etnik, usia bebas memperoleh informasi lewat internet. Siapapun menjadi semakin mudah untuk melakukan multy-tasking (beberapa tugas dalam waktu yang sama hanya melalui satu komputer), internet juga memudahkan orang untuk berpikir dan menuangkan gagasannya secara multi format dan non-linier. Kemampuan internet juga meningkatkan percepatan cross-breeding informasi dan pengetahuan yang bukan lagi dalam disiplin atau bidang kehidupan yang sama, tetapi juga secara intra dan interdisiplin bidang kehidupan.
Dengan fenomena ini informasi yang dulu dikontrol oleh kehadiran perpustakaan, kini telah tergantikan oleh mesin pencari data semacam Google, Yahoo, AltaVista, dan sejenisnya. Pada kasus inilah, posisi perpustakaan pun mencair, tak terbatasi oleh bangunan dan rak-rak buku, namun lebih bermain pada jaringan dan ketersediaan informasi di dunia maya. Perpustakaan menjadi vehicle manusia untuk melakukan pengembaraan dalam ruang dan waktu.
Melihat gambaran di atas, bagaimanapun akan menciptakan kompetivenes, mengingat semakin dikuranginya hambatan dari berbagai hal antar negara. Kompetivenes akan menjadi sebuah icon dan siapa yang terbaik dialah yang menang. Perpustakaan sebagai lembaga yang bertugas mengolah, menyimpan, mengemas, dan mendistribusikan informasi saat ini dituntut untuk mampu beradaptasi di era globalisasi untuk memenuhi kebutuhan pengguna secara relevan, akurat, dan cepat. Dengan kata lain right users, right information, and right now. Di sini pustakawan harus segera mengambil prakarsa untuk mengeksplorasi potensi informasi dan pengetahuan yang terdapat di lingkungannya masing-masing dan mengembangkan sistem untuk penanganannya termasuk penyiapan sumber daya manusia, organisasi, infrastuktur teknologi informasi, dan infrastruktur hukum yang diperlukan. Berikut ini adalah kutipan tentang pustakawan yang dibutuhkan di era globalisasi:
”Holistic librarians with a broad range of competencies and skills are an emerging prerequisite in academic libraries, especially in technology-oriented roles.” (Dupuis & Ryan 2002: 5)
Mencermati pernyataan di atas Menurut penulis pernyataan Dupuis & Ryan tersebut merupakan visi pustakawan, sehingga patut dipakai sebagai acuan dalam mengembangkan kepustakawanan Indonesia.

Permasalahan
Pada saat ini yang sangat mendesak adalah kesiapan sebuah perpustakaan menghadapi era globalisasi. Globalisasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk berkompetisi dan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan, dimana sumber daya manusia dan kemampuan manusia untuk berinteraksi dengan lingkungannya menjadi faktor yang amat penting. Dengan melihat gambaran di atas, apa yang harus dilakukan oleh pustakawan, khususnya pustakawan Indonesia di era globalisasi? Mau tidak mau organisasi perpustakaan Indonesia harus mengembangkan kiprah kepustakawanannya. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu suatu kupasan tentang paradigma kepustakawanan selama ini, keilmuan pustakawan, praktek kepustakawanan, aplikasi teknologi, profesionalisme pustakawan, dan organisasi profesi.

Pembahasan
 Paradigma kepustakawanan
Paradigma atau citra merupakan seperangkat kesan di dalam pikiran pemakai terhadap suatu objek. Sedangkan kepustakawanan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pustakawan, seperti profesi kepustakawanan dan penerapan ilmu. Misalnya dalam hal pengadaan koleksi, pengolahan, pendayagunaan, dan penyebaran informasi kepada pemakai.
Profesi pustakawan di negeri ini masih merupakan pilihan profesi alternatif, tenaga pustakawan “dipandang sebelah mata”, “tenaga buangan” di mana perpustakaan adalah unit kerja tempat pembuangan pegawai yang kurang berprestasi. Masih ada anggapan bahwa perpustakaan dapat diurus oleh siapa saja. Mereka bekerja sebagai pustakawan kebetulan ( a pseudo librarian) di mana mereka terpaksa bekerja di perpustakaan karena tidak diterima di tempat lain, menjadi tenaga perpustakaan yang bekerja dengan setengah hati. Sebaliknya hanya ada sedikit jumlah pustakawan yang terpanggil untuk bekerja sebagai the true librarian. Hal ini membawa dampak pada etos dan kinerja pustakawan yang akhirnya berdampak pada kualitas pelayanan.
Bila penulis cermati paradigma dari kepustakawanan terletak pada dua sisi, yaitu :
(1) Sisi intangible, yaitu sumber daya manusia (kecepatan, keprofesionalan, dan keramahan pelayanan)
(2) Sisi tangible, yaitu
– Kelengkapan dan kebaruan koleksi
Kemutakhiran koleksi adalah sangat diperlukan untuk meningkatkan relevansi kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

– Kecanggihan sarana dan prasarana.
Bagimanapun juga pelayanan sebagai pintu gerbang utama memegang kendali atas paradigma sebuah perpustakaan, di mana manusianya (SDM) sebagai man behind the machine memegang peranan utama. Untuk itu perlu adanya suatu peningkatan citra pustakawan (librarian image), (Di samping building image dan ICT based) di mana faktor sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting agar teknologi yang ada dapat digunakan secara efektif. Pelatihan di bidang teknologi dimaksudkan untuk menjadikan staf yang dilatih atau dididik dapat menggunakan peralatan dan software dalam mendukung adanya peningkatan efektivitas staf dan organisasi. Dengan demikian memungkinkan staf memahami kerangka konseptual dari pada teknologi yang ada dan dapat membuat keputusan secara cerdas, kapan dan bagaimana menggunakan teknologi yang tersedia.
Dengan demikian citra pustakawan diharapkankan mulai dari sekarang memiliki etos kerja yang lebih proaktif dan costumer oriented, konsep perpustakaan dalam pengertian yang luas, menguasai TI (Teknologi Informasi), memahami ilmu manajemen, memiliki PR (Public Relations) yang baik, komunikatif, evaluasi untuk mengukur kinerja, profesionalisme dan menjalin kerjasama (dengan semua pihak), sebab masa depan menjadi milik suatu bangsa dimana sumber daya manusianya produktif dalam menggunakan pengetahuan, teknologi dan informasi. Hal ini merupakan faktor keberhasilan kesuksesan ekonomi, bukan lagi tergantung dari sumber daya alam.
Selain membangun citra diri, pustakawan dan perpustakaan di Indonesia perlu meningkatkan daya saingnya. Selama ini daya saing biasanya hanya dimaksudkan pada sektor perdagangan dan industri. Mengapa peningkatan daya saing juga perlu dikerjakan oleh pustakawan dan perpustakaan di Indonesia? Jawabnya adalah karena globalisasi. Globalisasi yang menjanjikan lebih transparannya dunia, tidak lain merupakan juga kompetisi antara bangsa dan negara.

 Keilmuan Pustakawan
Perkembangan ilmu dan teknologi telah memaksa bangsa-bangsa dengan mengandalkan penguasaan ilmu dan teknologi untuk dapat memenangkan kompetisi di abad 21 ini. Perkembangan yang sangat sulit bagi kita (Bangsa Indonesia) untuk terus mengikutinya. Di samping itu sistem pendidikan kita masih jauh ketinggalan. Di sisi lain penguasaan dan pemanfaatan teknologi khususnya teknologi komunikasi dan informasi masih terbatas, masih jauh ketinggalan dari negara tetangga Malaysia, Thailand, dan Singapura. Pemanfaatan multimedia untuk sektor pendidikan masih terbatas. Untuk menciptakan image kepustakawanan, perlu sumber daya berupa tenaga profesional pustakawan itu sendiri. Dikatakan profesional jika SDM cukup memiliki keilmuan dan mampu memberikan kepuasan kepada pengguna. Sementara itu Tingkat pendidikan pustakawan di Indonesia masih rendah sehingga kemajuan dan perkembangan keilmuan dan pengetahuan yang berkaitan dengan perpustakaan masih belum menonjol. Pustakawan bergelar Magister/Master rata-rata memiliki pendidikan sarjana non ilmu perpustakaan.
Berdasarkan data pustakawan Indonesia, sampai saat ini jumlah pustakawan Indonesia 2.935 orang, dimana sebaran berdasarkan pendidikan didominasi oleh SLTA 975 orang, S1 994 orang (Perpustakaan 377 orang, non perpustakaan 617 orang. (Lampiran 2). Sumber daya tenaga perpustakaan di Indonesia memperlihatkan tingkat dan latar belakang pendidikan formal yang heterogen, dimana lebih dari 1/3nya adalah pustakawan inpasing.
Menurut penulis sebagian besar tenaga pustakawan merupakan pustakawan pekerja /”pion-pion”. Sehubungan dengan hal tersebut menurut penulis sudah saatnya komunitas kepustakawanan Indonesia perlu membentuk pustakawan pemikir dan pustakawan peneliti. Dengan adanya pustakawan pemikir, diharapkan timbulnya dan terealisasinya beberapa pemikiran tentang kepustakawanan Indonesia, sedangkan pustakawan peneliti diharapkan menciptakan produk berupa kajian dan kritik kepustakawanan Indonesia. Bila kita lihat sebaran berdasarkan jabatan (lampiran 3) dimana pustakawan utama sejumlah 13 orang (0.4 %) diharapkan mampu untuk menyumbangkan pemikirannya dan pengalamannya selama bertugas 30 sampai 40 tahun di bidang perpustakaan, sebagai pustakawan pemikir. Sedangkan pustakawan peneliti dapat terdiri dari pustakawan madya yang terdiri 236 orang (8 %) untuk melakukan kajian kepustakawanan.
Dengan fenomena tersebut, mau tidak mau perpustakaan harus berbenah dengan membekali para tenaga pengelolanya (administratif maupun fungsional pustakawannya) bersikap profesional dalam memberikan pelayanannya. Untuk dapat bersikap profesional banyak perpustakaan (khususnya perguruan tinggi) mulai melakukan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dengan melatih tenaga pengelola perpustakaan atau pustakawan dalam bidang layanan, komputer, bahasa Inggris, studi banding ke berbagai perpustakaan yang lebih maju, mengikutsertakan dalam seminar maupun magang di bidang ilmu perpustakaan, teknologi informasi dan komunikasi, mengikutsertakan pendidikan formal S2 bidang ilmu perpustakaan dan informasi, serta peningkatan kualitas/mutu layanannya dengan pembekalan layanan prima bagi tenaga pengelola perpustakaan/pustakawan. Tidak lupa institusi pendidikan perlu menambah wawasan bagi calon-calon pustakawan, antara lain filsafat/filosofi kepustakawanan dan isyu mutakhir serta ekosistem yang berkaitan dengan kepustakawanan.
Dalam perkembangannya ilmu perpustakaan sangat erat dengan teknologi informasi, di mana katalog dimodifikasi berbagai rupa dengan berkolaborasi menggunakan teknologi informasi. Dalam kedudukannya jurusan ilmu perpustakaan merupakan bagian dari jurusan ilmu komunikasi, di mana selain mempelajari katalogisasi dan klasifikasi, ilmu perpustakaan juga mempelajari penerbitan dan distribusi media, teknologi komunikasi, sebagai dasar untuk melakukan media analisis. Untuk perkembangannya perpustakaan membutuhkan media massa dalam menyebarkan pesannya. Bahkan perpustakaan perlu mempromosikan diri dan menjadikan lahan bisnis (analisis segmentasi, targeting, dan posisioning) dengan melakukan program komunikasi berdasarkan analisis SWOT yang telah dilakukan.
Seperti dijelaskan di atas, bahwa perkembangan TI mengakibatkan semua bidang pekerjaan perpustakaan tidak ada lagi yang tidak mendapat sentuhan ”keajaiban” TI. Keilmuan perpustakaanpun saat ini dituntut mampu mengikuti perubahan sosial pemakainya. Perubahan dalam kebutuhan informasi, perubahan dalam berinteraksi dengan orang lain, dan dalam berkompetisi. Pustakawan perlu menyadari bahwa perlu ditumbuhkan suatu jenis kepustakawanan dengan paradigma-paradigma baru yang mampu menjawab tantangan media elektronik tanpa meninggalkan kepustakawanan konvensional yang memang masih dibutuhkan (hybrid library). Hanya dengan sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini tenaga pengelola perpustakaan dan tenaga fungsional pustakawan yang berkualitaslah (melalui keilmuannya) kita bisa membangun paradigma kepustakawanan Indonesia.

Praktek Kepustakawanan
Pada era globalisasi setiap negara harus membuka kesempatan dan melakukan kerjasama antar negara. Hal ini membawa konsekwensi bahwa tenaga kerja Indonesia harus mempunyai daya saing terhadap pasar tenaga kerja. Oleh karena itu perpustakaan memerlukan pustakawan dengan profesionalisme yang tinggi. Namun dalam prakteknya sampai sejauh ini pustakawan Indonesia belum bsa dikatakan mampu untuk menjadi profesional (idealpun belum ) bahkan masih sangat jauh dari konsep ideal. Sesuatu yang idealis adalah suatu tahapan yang akan dicapai oleh seorang profesional. Untuk itu sosok pustakawan yang ideal perlu tinjauan dari aspek profesional dan aspek kepribadian dan perilaku (dalam rumusan profil pustakawan Indonesia). Pustakawan yang ideal menurut Joko Santoso (2001) adalah pustakawan yang mampu mengelola informasi (information manager) dan mengelola pengetahuan (knowledge manager). Harapan ini masih perlu perjuangan panjang.
Untuk exsist di era globalisasi dan mendukung praktek kepustakawanan Indonesia menjadi lebih baik, maka SDM pustakawan perlu menerapkan standar kompetensi dalam berkolaborasi dengan TI, yaitu dengan:
1. Kemampuan dalam penggunaan komputer (komputer literacy)
2. Kemampuan dalam menguasai basis data (database)
3. Kemampuan dalam penguasaan peralatan TI (tools and technological skill)
4. Kemampuan dalam penguasaan teknologi jaringa (computer networks)
5. Kemampuan dalam penguasaan internet dan intranet
6. Kemampuan dalam berbahasa Inggris
Prakteknya pustakawan Indonesia masih lemah dalam penguasaan bahasa asing (Inggris) dan teknologi informasi. Berbagai situs jaringan informasi sebagai salah satu wadah kounikasi maya, belum dimanfaatkan secara optimal oleh pustakawan. Pustakawan tidak banyak menulis. Dalam produksi karya tulis ilmiah, Indonesia yang menghasilkan produk 0.012% adalah yang terendah dibandingkan dengan Singapura 0.179%, Thailand 0.084%, Malaysia 0.064%, dan Filipina 0.035%. (Lampiran 4) Gambaran umum ini merefleksikan produksi karya tulis di bidang perpusdokinfo masih amat rendah. Mengingat sebagian besar karya tulis ilmiah ditulis dalam bahasa Indonesia, maka komunitas internasional tidak dapat membaca atau mengerti perkembangan bidang perpusdokinfo di Indonesia. Selain itu masih banyak diantara perpustakaan, pustakawannya cenderung memperhatikan media komunikasinya terutama buku dan majalah, daripada materi informasi yang terkandung di dalam bahan pustaka itu sendiri. Di sini kecenderungan yang mencolok pustakawan masih terlihat pada kegiatan penanganan bahan pustaka daripada mengkomunikasikannya.

Aplikasi teknologi
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau information and comunication technology (ICT) telah membawa perubahan dalam berbagai sektor, termasuk dunia perpustakaan. Perkembangan dari penerapan information and comunication (ICT) dapat diukur dengan telah diterapkannya/digunakannya sebagai
sistem informasi manajemen (SIM) perpustakaan dan perpustakaan digital (digital library). Sistem informsi manajemen (SIM) perpustakaan merupakan pengintegrasian antara bidang pekerjaan aministrasi, pengadaan, inventarisasi, katalogissi, pengolahan, sirkulasi, statistik, pengelolaan anggota perpustakaan, dan lain-lain. Sistem ini sering dikenal juga dengan sebutan sistem otomasi perpustakaan. Dengan penerapan SIM ini secara langsung merubah paradigma layanan perpustakaan. Layanan perpustakaan yang dulunya off-line berubah menjadi on-line. Di sini Perpustakaan harus mampu merancang layanan perpustakan yang memungkinkan akses terhadap sumber-sumber informasi (information resources). Hal ini mengisyaratkan bahwa pemanfaatan perpustakaan tidak lagi bergantung pada visitasi pemakai perpustakaan atau bertumpu pada kunjungan secara fisik semata, tetapi pemanfaatannya dapat dilakukan setiap saat dan dari berbagai tempat dimanapun pengguna berada.
Ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam aplikasi TI di perpustakaan, yaitu:
1) Intrastruktur Teknologi Informasi
Pemanfaatan TI saat ini menjadi kewajiban hampir dibanyak perpustakaan. TI membantu perpustakaan memperbaiki kualitas dan jenis layanan. Minimal saat ini sebuah perpustakaan harus mempunyai:
• Jaringan lokal (Local Area Network) berbasis TCP/IP. Keuntungan TCP/IP adalah banyaknya aplikasi (misalnya: WWW) yang berjalan pada infrastruktur tersebut.
• Akses ke Internet. Minimal harus ada akses ke internet untuk pustakawan agar mudah mengakses informasi eksternal perpustakaan.
• Komputer buat pustakawan dan pemakai perpustakaan. Harus ada komputer untuk server yang akan memberikan servis kepada pemakai, komputer untuk pustakawan bekerja dan komputer untuk pemakai agar bisa menggunakan layanan perpustakaan.
2) Content
Content adalah semua dokumen, aplikasi, dan layanan yang akan kita “sajikan” kepada pemakai perpustakaan.Yang termasuk dalam dokumen seperti buku, majalah, jurnal, prospektus, laporan keuangan, dan berbagai bentuk media lain baik tercetak maupun elektronik. Aplikasi adalah sistem (biasanya menggunakan komputer) yang dibuat dengan tujuan tertentu. Misalnya: aplikasi administrasi perpustakaan, aplikasi untuk menyimpan artikel yang didownload dari internet, aplikasi administrasi majalah, dan aplikasi perpustakaan dijital. Sedang Layanan adalah jenis produk atau “jualan”-nya perpustakaan. Misalnya: Layanan peminjaman buku, layanan pinjam antar perpustakaan, layanan pemberitahuan buku baru via e-mail, layanan pemesanan buku dan lain-lain. Juga secara serius memberikan Content Manajemen Pengetahuan. Contoh: Dokumen yang sudah dikemas ulang dan diberikan nilai tambah sehingga pemakai mudah dalam pengambil keputusan yang spesifik (dokumen), Aplikasi WIKI yang memungkinkan orang bekerja secara kolaborasi dalam penulisan (aplikasi), dan Layanan Asistensi dalam melakukan riset (layanan). Esensi teknologi tetap sebagai extension of the man, yang juga dapat dipahami sebagai suatu kompleksitas sistem dari keberadaan equipment, techniques dan people.
Seperti apa yang diterapkan Trans TV, di mana manajemen koleksi media audio visual yang meliputi berbagai rekaman suara (sound recording), rekaman video baik dalam magnetic tape maupun dalam film, serta berbagai gambar lain (Media dan teknologi perekaman seperti teknologi optik, betacam, digital betacam, dvd, dvc, maupun dvc-pro), telah disusun dalam perpustakan dengan memakai dua perangkat lunak yaitu perspective fokus dan library cassette management. Layanan perpustakaan disediakan melalui jaringan intranet, sehingga pengguna dalam lingkungan Trans TV dapat mengakses informasi yang ada pada perpustakaan virtual (Vlib) tanpa harus datang di lokasi Vlib.
3) Sumber Daya Manusia
Merupakan faktor terpenting dalam layanan perpustakaan.
4) Pemakai/user
Seperti halnya perusahaan komersial, perpustakaan juga harus jeli dalam membidik konsumennya (pengguna) dengan melakukan analisis segmentasi, targeting, dan posisionong (STP). Dengan mengetahui consumer behavior-nya, diharapkan perpustakaan dapat memberikan kepuasan kepada pengguna.
Apabila pembenahan tersebut di atas terealisasi, maka teknologi informasi siap untuk diaplikasikan. Aplikasi teknologi informasi menuntut pustakawan dan perpustakaan untuk melakukan transformasi fungsi dalam menambah nilai pada informasi dan juga pada perpustakaan itu sendiri. Caranya dengan melakukan streamlining, ekspansi, dan inovasi dalam bentuk:
– Menyediakan one-stop service: multy functioal librarians multi-tasking customers
Pekerjaan tradisional bisa dilakukan melalui satu computer, dengan prosedur yang jauh lebih pendek. Dari menerima pesanan informasi suatu topik, melakukan pencarian, memesan pada toko buku/penerbit/mendownload dari internet, mengolah informasi yang didapat, dan menyampaikan informasi pada si pemesan tanpa harus berpindah dari satu komputer apalagi melakukan perjalanan ke luar.
– Menyediaka koleksi dalam multi format
Disamping dalam bentuk text dan cetakan ada bahan-bahan multi media, digital, hypertext, dsb. Termasuk juga pertemuan dan diskusi formal.nonformal
– Adding value
Pustakawan menyediakan akses hanya ke sumber-sumber yang dapat dipercaya kualitasnya. Caranya dengan membuat portal atau pintu masuk ke sumber-suber yang telah terseleksi mis. Virtual libraries subject-based gateways.
– Layanan online 24 jm
Adanya fasilitas digital dan internet
– Melayani individu atau kelompok sebagai anggota jaringan
Kemajuan ICT memudahkan dan mendorong terjadinya kolaborasi dalam melakukan pengelolaan pengetahuan dalam konteks jaringan. Seperti yang telah dilakukan oleh proyek jaringan virtual perpustakaan universitas krsten di indonesia: InCU-VL. Juga yang sedang dirintis oleh perpustakaan UGM.
Hal ini seperti yang diungkap oleh Susan Perry :
“The information professional of the future will most likely be a hybrid of librarianship and computing, media specialization, and instructional technology, and we need to start thinking about how we as librarians add value to the teaching/learning/research support services and what we need to learn from our colleagues”.

Keprofesionalan pustakawan
Lynn menyatakan “A Profession delivers esoteric services based on esoteric knowledge systematically formulated and applied to the needs of client”. Suatu profesi menyajikan pelayanan yang hanya dilakukan oleh orang tertentu yang secara sistematis diformulakan dan diterapkan untuk memenuhi kebutuhan para pelanggannya. Dengan demikian tdak semua pekerjaan disebut profesi dan tidak semua orang mampu melaksanankan suatu profesi. Dalam menerapkan aplikasi teknologi di bidang perpustakaan, maka perlu sumber daya manusia yang profesionl di bidangnya. Karena teknologi informasi akan sangat berperan dan akan menjadi tulang punggung karya dokumentasi maupun jasa informasi, sehingga antisipasi atas perkembangan teknologi informasi harus menjadi perhatian para pengelola informasi.
Profesionalisme pustakawan mengandung arti pelaksanaan kegiatan perpustakaan yang didasarkan pada keahlian, rasa tanggungjawab. Keahlian merupakan dasar dalam menelurkan hasil kerja yang tidak sembarang orang dapat menghasilkannya, dan dengan keahlian ini pustakawan diharapkan dapat memecahkan masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh orang lain. Tanggung jawab dalam arti bahwa kegiatan yang dilakukan pustakawan tidak hanya sekedar melakukan tugas rutin, tetapi melakukan kegiatan yang bermutu dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan lewat prosedur kerja yang benar. Profesi merupakan pekerjaan yang memerlukan keahlian/expertise, tanggung jawab, dan kesejawatan/corporateness. Pustakaan sebagai suatu profesi diakui berdasarkan SK MENPAN No. 18/MENPAN/1988 yang diperbaharui dengan SK MENPAN No. 33/MENPAN/1990 yang kemudian diperkuat dengan kewajiban dan hak sebagai profesi dan fungsional pustakawan. Untuk menetapkan suatu bidang apakah termasuk profesi atau bukan ditetapkan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Memiliki pola pendidikan tingkat akademik
2. Berorientasi pada jasa
3. Tingkat kemandirian
4. Memilki kode etik
5. Memiliki batang tubuh ilmu pengetahuan
6. Memiliki organisasi keahlian
Status keprofesionalan pustakawan memang bertolak dari diri pribadi masing-masing. Pertanyaan kita sekarang adalah : “Apakah benar pustakawan kita mau menjadi profesional serta adakah kemauan dan upaya apa saja yang sudah dilakukan?” Pemerintah kita telah mengakui pustakawan adalah pejabat fungsional khusus. Dengan pengakuan ini berarti telah dibuka lebar pintu keprofesionalan pustakawan. Oleh sebab itu upaya membangun citra diri pustakawan (image branding) saat ini menjadi keharusan. Namun pengakuan status keprofesionalan pustakawan pada akhirnya sangat tergantung pada penilaian masyarakat luas. Apakah mampu untuk beradaptasi dengan globalisasi?
Utuk kedepannya layanan perpustakaan berubah menjadi layanan informasi. Hal ini dikarenakan perubahan bentuk media yang digunakan pada masa kini tidak hanya buku. Akibatnya terjadi perubahan cara mengelola keseluruhan proses penciptaan, pengkodean, penyimpanan, dan pemakaian kembali dokumen dalam segala bentuknya. Dibarengi dengan terjadinya perubahan antara lain dalam jumlah penduduk, pembentukan kelas-kelas baru dalam masyarakat, perkembangan pesat dalam pendidikan, dan penyediaan bentuk-bentuk layanan baru bagi anggota masyarakat.
Hal tersebut di atas mengakibatkan derasnya arus kebutuhan baru terhadap informasi yang baru pula. Apabila pustakawan bersikeras memakai bentuk layanan perpustakaan secara tradisional untuk kebutuhan masa kini, maka akan terjadi kesenjangan. Bertolak dari itu, maka saat ini pustakawan harus dapat memberikan pelayanan prima, yaitu suatu sikap atau cara pustakawan dalam melayani penggunanya dengan prinsip layanan berbasis pengguna (people based service) dan layanan unggul (service excellence). Tujuan dari service excellence adalah : 1) memuaskan pengguna; 2) meningkatkan loyalitas pengguna; 3) meningkatkan penjualan produk dan jasa; 4) meningkatkan jumlah pengguna.
Profesi pustakawan dituntut untuk mampu bersikap lebih terbuka, suka kerja keras, suka melayani, mengutamakan pengabdian serta aspek-aspek kepribadian dan perilaku. Tuntutan hal tersebut,menurut hemat penulis itulah kata kunci yang sebenarnya yang perlu terus menerus diaplikasikan dalam menjalankan arti profesi. Dalam mengantisipasi masa mendatang, pustakawan hendaknya selalu tanggap terhadap perkembangan teknologi informasi, mengenal seluk beluk manajemen, menguasai cara-cara penyediaan informasi, dan memahami sumber-sumber informasi, serta mengetahui sistem jaringan informasi

Organisasi Profesi
Di Inggris lahir organisasi pustakawan dengan nama Library Association (LA) bermarkas di Lodon berdiri tahun 1877. Di Amerika lahir ALA /American Library Association merupakan organisasi pustakawan tertua di dunia. Organisasi ini berdiri tanggal 6 oktober 1876. kecuali ALA di Amerika juga ada organisasi perpustakaan menurut negara-negara bagian, seperti Ohio Library Association, South East Regional Library Association, Music Library Association, specal library association, association of college and research libraries.
Di Indonesia organisasi kepustakawanan disebut IPI/Organisasi Pustakawan Indonesia berdiri tahun 1973. Suatu organisasi profesi, seperti Ikatan Pustakawan Indonesia adalah alat untuk meningkatkan wawasan dan kemampuan kerja dalam rangka merealisasikan berkembangnya karier. Organisasi inilah yang menetapkan kode etik profesi dan melaksanakan sanksi atas pelanggaran etika. Dalam perkembangannya organisasi ini belumlah tampil sebagai organisasi profesi yang berwibawa. IPI dirasakan oleh sebagian orang belum mandiri, keuangan IPI masih banyak tergantung pada subsidi dan bantuan instansi di bidang perpustakaan di Indonesia (Perpustakaan Nasional RI) dan Badan-badan lain, baik pemerintah maupun swasta. Di samping itu, keterlibatan para anggota IPI belum dapat dilaksanakan secara optimal. Namun pantas dicatat dalam kurun waktu tersebut IPI berhasil menyelesaikan berbagai programnya, seperti pembentukan pengurus daerah maupun cabang di semua provinsi Indonesia, membina hubungan dengan IFLA, CONSAL, berhasil memperjuangkan status pustakawan sebagai tenaga fungsional,dan menyelenggarakan konggres 3 tahun sekali. .
Mencermati perubahan yang semakin dahsyat, organisasi profesi pustakawan Indonesia, hendaknya berupaya melakukan berbagai perbaikan dan pengembangan layanan terbaiknya bagi kepentingan masyarakat secara terencana dan berkesinambungan. Dengan demikian organisasi profesi ini tidak akan kehilangan arah baik dalam rangka pengambilan keputusan, maupun dalam rangka meningkatkan mutu organisasi.

Kesimpulan
Di era globalisasi, informasi telah menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan manusia. Pemanfaatannya telah merambah ke seluruh aspek kehidupan tidak terkecuali di bidang perpustakaan yang penyampaiannya telah sedemikian canggihnya sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi. Tuntutan kebutuhan akan informasi, apalagi terkait dengan era globalisasi saat ini akan semakin meningkat dan bervariasi. Hal ini menuntut kualitas intelektual yang semakin tinggi.
Mencermati kondisi kepustakawanan kita saat ini, peran pustakawan di era globalisasi semakin komplek dan tidak mudah. Berbagai perubahan yang telah terjadi menempatkan posisi pustakawan pada suatu tantangan dalam menghadapi globalisasi informasi, diantaranya yaitu:
1. Tantangan teknis (SDM)
– Penguasaan TI
– Penguasaan bahasa asing
– Usaha merubah cara pandang dan tekad dalam memperbaiki kinerja para pustakawan dan para pejabat yang bekerja di perpustakaan.
2. Tantangan profesi
– Bertambahnya profesi baru
Munculnya internet menciptakan profesi baru di luar pustakawan yang juga menyediakan informasi, yaitu on-line specialist dan information broker.
– Terjadinya perubahan peranan pustakawan dari pemberi informasi menjadi trainer information searching based IT.
– Ketidakpercayaan diri pustakawan/paradigma pustakawan
Perpustakaan mempunyai suatu misi, yaitu melestarikan suatu hasil karya atau budaya bangsa yang terdapat dalam berbagai media baik cetak maupun non cetak. Harapan ke depan bagi pustakawan adalah menjadi seorang yang profesional di bidangnya, selalu belajar dan mengikuti perkembangan baik teknologi informasi maupun ilmu pengetahuan sehingga mampu memberikan suatu layanan yang cepat dan terampil. Dapat membuat keputusan secara cerdas, kapan dan bagaimana menggunakan teknologi yang tersedia.

Penutup
Apa yang penulis kemukakan di dalam paparan penulisan ilmiah ini masih banyak kekurangannya. Walaupun demikian dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk memaksimalkan peran dan fungsi pustakawan dalam melayani kebutuhan informasi masyarakat. Untuk melakukan suatu perubahan kepustakawanan apalagi menyangkut pemberdayaan sumber daya manusia tidaklah mudah, karena itu memerlukan tekad dan komitmen yang kuat dari pustakawan sendiri serta dukungan nyata dari organisasi perpustakaan.

Daftar Pustaka

American Library Association. (2005). Libraries, Literacy & Learning in the 21st Century. American Libraries, August v36 i7 pSI (12)

Ardi Siswanto. Otokritik IPI Sebagai Organisasi Profesi Dalam Rangka Otonomi Daerah. Diakses dari http://www.consal.org.sg/

B. Sudarsono. (2000). Peran Pustakawan di Abad Elektronik: Impian dan Kenyataan. Disampaikan pada Seminar Peran Pustakawan di Abad Elektronik: Impian dan Kenyataan. Jakarta: PDII-LIPI.

Diao Ai Lien. Transformasi Dunia Perpustakaan. Diakses dari http://www.aptik.or.id/artikel/

Dupuis, J. & Ryan, P. (2002) Bridging the two cultures: a collaborative spproach to managing electric resources. Issues in Science and Technological Librarianship, Spring.

Elfindri. (2006). Jalur Cepat Lulus S1 dan S2: Disertai Informasi Jurusan Terakreditasi A Pada Setiap Perguruan Tinggi di Indonesia. Tangerang: Visimedia.

Hernandono. (2005). Meretas Kebuntuan Kepustakawanan Indonesia :Dilihat Dari Sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan. Makalah disampaikan pada Orasi Ilmiah Dan Pengukuhan Pustakawan Utama. Diakses dari http://www.pnri.go.id/official_v2005.5/activities/news/

Hill, Janet Swan. (2005). Analog People for Digital Dreams: Staffing and Educational Considerations for Cataloging and MetadataPprofessionals. Journal of Library Resources & Technical Services. Jan 2005 v49 i l p14(5)

Khoe Yau Tung. (2001). Teknologi Jaringan Intranet. Yogyakarta: Andi.

Purwono dan Sri Suharmini. (2006). Perpustakaan dan Kepustakawanan Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.

………. Membangun Citra: Perpustakaan Perguruan Tinggi Di Indonesia Menuju Perpustakaan Bertaraf Internasional. Diakses dari http://www.lib.ui.ac.id/

………. Mengembangkan Kualitas Dan Layanan Perpustakaan Berbasis TI. Diakses dari http://hendrowicaksono.multiply.com/jurnal/
……….. Pengguna Internet Diprediksi Capai 20 juta: Indonesia Butuh 25 Juta Komputer. Bisnis Indonesia – 29/11/06
……….. Pidato Ilmiah Pengukuhan Pustakawan Utama:Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diakses dari http://www.pnri.go.id/

Lampiran 1

Diagram 1:
Pengguna Internet Tahun 2006

Sumber: Economist (2006)

Grafik 1:
Pengguna Internet di Indonesia Januari 2004-Maret 2005

Sumber: Bisnis Indonesia – 29/11/06

Lampiran 2

Diagram 1:
Pustakawan Berdasarkan Pendidikan di Seluruh Indonesia

Sumber: Pusat Pengembangan Pustakawan 2005 – 2006

Diagram 2:
Perbandingan Pendidikan
Pustakawan S1 Perpustakaan dan S1 Non Perpustakaan

Sumber: Pusat Pengembangan Pustakawan 2005 – 2006

Lampiran 3

Diagram 1:
Diagram Pustakawan Berdasarkan Jabatan di Seluruh Indonesia

Sumber: Pusat Pengembangan Pustakawan 2005 – 2006

Lampiran 4

Diagram 1:
Kiprah Pustakawan dalam Produksi Karya Tulis

Sumber:
Hernandono dalam Orasi Ilmiah dan Pengukuhan Pustakawan Utama
Tahun 2005

Disusun Dalam Rangka Lomba Penulisan Karya Ilmiah
Bagi Pustakawan
Perpustakaan Nasional RI
Jakarta
2007

Artikel ini dimuat di Jurnal Ilmu perpustakaan DIII FISIP UNS Vol.1, No. 1  Bulan Pebruari 2008