kua(Nt/L)itatif

sumber: http://iperpin.wordpress.com/kuantlitatif/

kua(Nt/L)itatif

Ada 2 artikel (tentang penelitian kuantitatif-kualitatif dan sitasi) menarik bagi anda-anda terutama pustakawan, diharapkan dengan membaca artikel di bawah ini akan membuka wawasan dan bisa membantu pengguna perpustakaan dalam menyelesaikan penelitiannya serta memahami arti pentingnya mencantumkan kutipan pada karyanya. Sebabmasih banyak mahasiswa yang belum tahu pentingnyamengutip dan bagaimana etika dalam mengutip, (ada pada blogroll blog ini) yang tentu saja mahasiswa butuh jawaban yang berkualitas melalui karya orang lain. Apalagi banyak tugas yang sifatnya online, jadi sudah merupakan hal yang biasa tugas dikumpulkan via elektronik. So peran pustakawan sebagai pendamping pendidik ada benarnya. Artikel ini saya ambil dari http://iperpin.wordpress.com/

kua(Nt/L)itatif

Isyu metode penelitian “kuantitatif versus kualitatif” bukanlah isyu yang terlalu besar dalam penelitian Ilmu Perpustakaan & Informasi, tetapi cukup sering menjadi bahan pembicaraan di kalangan penelitinya. Walau bukan isyu penting, sering pula terjadi kesimpangsiuran dan kebingungan tentang peran kedua metode ini dalam perkembangan bidang perpustakaan & informasi. Kadang-kadang, perdebatan tentang kedua metode ini secara tergesa-gesa menyimpulkan bahwa masing-masing metode saling meniadakan yang lain; atau bahwa pilihan terhadap satu metode meniadakan pilihan pada metode yang lain.

Padahal, pilihan metode penelitian dalam setiap ilmu bukanlah persoalan tentang mana yang lebih bagus, melainkan mana yang lebih tepat untuk objek penelitian yang benar. Pilihan metode juga terkait dengan sifat objek yang diteliti, apa yang ingin diungkapan, dan bagaimana seorang peneliti memosisikan dirinya. Dalam bahasa formal, pilihan metode penelitian tak lepas ontologi dan epistemologi.

Tanpa harus terlibat dalam perdebatan tentang mana yang lebih penting dan lebih baik, halaman ini akan berisi paparan tentang masing-masing metode, tentunya dalam konteks Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Melalui paparan ini, mudah-mudahan kita dapat melihat bahwa kedua metode dapat digunakan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan atau bergantian.

Daftar isi

——————————-

1. Apa Yang (sebenarnya) Kita Teliti?

Masih ingat soal objek penelitian tentang penduduk kelurahan Segopecel dalam halaman “Jejak Langkah” di sebelah? Dalam contoh imajiner, kita sudah punya sebuah judul penelitian, yaitu ‘Pengelolaan dokumen kependudukan di Kelurahan Segopecel dalam rangka pelayanan KTP melalui Internet : antara kendala dan potensi penggunaan teknologi’. Kita juga merinci bahwa penelitian ini akan berupaya menjawab dua pertanyaan pokok:

  1. Mengapa urusan kependudukan di Kelurahan Segopecel cenderung lambat?
  2. Mengapa teknologi Internet tidak mempercepat urusan itu?

Kedua pertanyaan di atas mengandung dua isyu. Pertama, kita heran mengapa ada kelambatan? Kita berasumsi, ada hambatan yang menyebabkan kelambatan itu. Kedua, kita sebenarnya berharap bahwa Internet mempercepat urusan. Kita berasumsi, ada potensi (kemungkinan) mempercepat layanan jika kita menggunakan teknologi. Kedua hal ini –”hambatan” dan “potensi”– merupakan dua hal yang ingin kita selidiki.

Selain itu, “hambatan” dan “potensi” ini kita kaitkan dengan penggunaan teknologi oleh sebuah masyarakat, khususnya penggunaan teknologi untuk mengelola dokumen (yakni dokumen kependudukan). Kita sudah memutuskan bahwa masalah ini termasuk dalam bidang ilmu perpustakaan dan informasi, terutama karena setidaknya ada persoalan ‘penggunaan teknologi untuk mengelola dokumen’, dan ada fenomena ‘transfer (perpindahan) dokumen’. Di dalam persoalan-persoalan pengelolaan dan transfer dokumen ini terlibatlah beberapa aktor (orang, pihak, anggota masyarakat) yang berada di satu lokasi, yaitu Kelurahan Segopecel.

Okay…, tarik nafas panjang -)dan mari kita FOKUS-kan lagi persoalan-persoalan di atas untuk lebih menegaskan sifat, karakter, dan ciri khas dari hal yang akan kita teliti. Dengan kata lain, mari kita diskusikan OBJEK penelitian. Perhatikanlah ada dua aktivitas penting yang ada di objek penelitian kita kali ini, yaitu:

  1. Pengelolaan dokumen kependudukan – adalah kegiatan oleh pegawai kelurahan, menggunakan komputer, mengikuti prosedur tertentu, melibatkan penduduk. Di dalam kegiatan pengelolaan dokumen ini ada berbagai faktor yang kita anggap penting, misalnya jenjang kepegawaian, pembagian tugas, alat kerja (komputer) yang digunakan, suasana kerja, hubungan antara pegawai kelurahan dan suasana kerja di kelurahan.
  2. Pelayanan KTP melalui Internet – adalah kegiatan yang diperantarai komputer (computer mediated) yang juga melibatkan orang-orang (pegawai maupun penduduk), menggunakan komputer yang tersambung ke Internet, mengikuti prosedur tertentu, dan juga berkaitan dengan berbagai faktor, misalnya ketersediaan sambungan ke Internet, keadaan ekonomi penduduk, kondisi telekomunikasi, dan kehidupan penduduk pada umumnya.

Sebagaimana kita sudah bicarakan di halaman “Jejak Langkah”, di dalam dua aktivitas di atas juga ada benda (dokumen), mesin (komputer, jaringan komputer), proses (penyimpanan, pengolahan, penyediaan dokumen), selain juga aturan (undang-undang, hak dan kewajiban kependudukan), interaksi (hubungan antara pegawai kelurahan dan penduduk), kedudukan (posisi pegawai kelurahan di hadapan penduduk), makna (arti KTP bagi penduduk), nilai (penting-tidaknya dokumen kependudukan), suasana (keadaan dan situasi).

Tarik nafas panjang lagi -)…. mari kita “masuk” lebih dalam ke berbagai hal yang kita urai di atas. Mari kita renungkan sejenak, bagaimana posisi kita (sebagai peneliti) dan objek penelitian kita (semua yang sudah kita rinci di atas). Ada dua kemungkinan:

  1. Kita (peneliti) berada “di luar” semua itu. Kita melihat, mengobservasi, memantau semua itu sebagai fenomena “orang lain” (pegawai, penduduk), sebagai sekumpulan benda dan aktivitas yang nyata karena dapat langsung ditangkap indera, sebagai sesuatu yang berwujud (tangible).
  2. Kita (peneliti) berada “di dalam” semua itu. Kita “seolah-olah mereka” (seolah-olah pegawai dan penduduk), sebagai bagian dari sesama yang mengalami berbagai aktivitas, baik langsung maupun tidak langsung. Kita terlibat, secara langsung maupun tak langsung, dengan semua itu sebagai sebuah realita kehidupan pada umumnya.

Dalam dua kemungkinan di atas, APA yang menjadi objek penelitian adalah tetap sama yaitu pengelolaan dokumen dan pelayanan melalui Internet. Perbedaan di antara kedua kemungkinan di atas adalah pada POSISI kita (peneliti) vis a vis (di hadapan) objek penelitian.

POSISI peneliti terhadap APA yang ditelitinya inilah yang secara formal kita sebut persoalan EPISTEMOLOGI dan ONTOLOGI, dan kedua kemungkinan tentang posisi peneliti di hadapan apa yang ditelitinya itulah yang SEBENARNYA merupakan objek penelitian.

2. Urusan “Luar” dan “Dalam” – apaan, tuh???

Apa hubungannya antara posisi peneliti dan metode yang digunakannya? Sabaar… -).. penjelasannya masih agak panjang.

Di dalam kemungkinan pertama (posisi peneliti “di luar”), segala sesuatu yang berkaitan dengan objek penelitian adalah sesuatu yang berwujud dan berjarak dari penelitinya. Dalam posisi seperti ini si peneliti mengandalkan daya observasinya, menggunakan panca inderanya, untuk mengamati segala sesuatu yang dianggap berada “di luar dirinya”. Keadaan seperti ini sering juga disebut keadaan “netral” karena si peneliti tidak “bercampur” dengan yang diteliti. Posisi peneliti yang “netral” ini memang pertama berkembang di bidang ilmu alam dan datang dari pandangan bahwa manusia dan alam yang diamatinya adalah dua hal yang terpisah.

Di dalam kemungkinan kedua (posisi peneliti “di dalam”), segala sesuatu yang berkaitan dengan objek penelitian adalah bagian dari peneliti. Posisi ini mengandalkan kemampuan si peneliti untuk justru “bercampur” dengan objek yang diteliti dan justru menghindari posisi “netral”. Artinya pula: antara si peneliti dan yang diteliti tidak ada “jarak”, si peneliti menjadi bagian dari hal-hal yang ditelitinya. Posisi seperti ini sering disebut “alamiah” alias “natural” ketika kita bicara tentang bidang ilmu sosial, sebab baik si peneliti maupun yang diteliti adalah manusia (atau setidaknya kegiatan dari manusia). Dalam bidang sosial tentu mudah sekali mengatakan bahwa si peneliti adalah mahluk sosial pula sehingga ia sebenarnya meneliti dirinya sendiri sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.

Sampai di sini, persoalan “luar-dalam” ini sering menimbulkan perdebatan bahkan percekcokan yang berkepanjangan, melibatkan argumentasi-argumentasi filosofis yang bikin pusing kepala. Ngapain juga ikut-ikutan cekcok!? Lebih baik menerima kedua posisi tersebut sebagai fakta ilmiah dan memahami perbedaannya, lalu memilih mau memakai posisi yang mana. Gitu aja, kok, repot!

Posisi apa pun yang kita pilih, baik posisi di luar maupun posisi di dalam sama-sama benar, dan sama-sama enak (sama-sama nikmat, bahkan!!) asalkan tahu bagaimana cara melakukannya! -)Kalau tidak tahu caranya, posisi apa pun yang kita pilih pasti berisiko keceklik alias terkilir.. he he he. Kayak posisi tidur, gitu loh maksud saya -harap jangan berpikiran yang bukan-bukan!

Posisi di luar adalah posisi yang mengandalkan asumsi bahwa apa pun yang terjadi adalah benar adanya sejauh kita dapat menggunakan observasi dan panca indera untuk membuktikannya. Posisi di dalam adalah posisi yang mengandalkan asumsi bahwa untuk memahami objek penelitian maka yang diperlukan adalah kemampuan kita memahami (jelas, lah!!). Posisi di luar membutuhkan daya observasi dan alat observasi yang “netral” terpisah dari objeknya. Posisi di dalam mengandalkan daya observasi dan interpretasi yang adalah diri si peneliti, sehingga dia sendiri adalah alat penelitian, tak terpisah dari objek yang diteliti.

Yuk kita terapkan di contoh imajiner Kelurahan Segopece

Posisi di Luar

Posisi di Dalam

  • Mengamati dokumen, teknologi, orang-orang sebagai fenomena alam, di luar peneliti; secara ekstrimnya menganggap semua hal itu sebagai objek (berkarakter kebendaan).
  • Menganggap bahwa dokumen, teknologi, orang-orang sebagai fenomena yang dapat disentuh panca-indera dan memiliki sifat atau hakikat kebendaan (bersifat fisik).
  • Memperhatikan kejadian, aktivitas, dan segala sesuatu di Kelurahan Segopecel sebagai unsur-unsur terpisah namun saling berkaitan sebagai kesatuan. Dengan kata lain, cenderung atomistik.
  • Menganggap dokumen, teknologi, orang-orang sebagai bagian dari sebuah kehidupan yang dapat “dimasuki” peneliti.
  • Berupaya memahami dokumen, teknologi, orang-orang sebagai sebuah situasi kehidupan normal yang menjadi bagian dari kehidupan peneliti juga; seolah-olah peneliti terlibat dan menggunakan segala sesuatu yang ada dalam situasi kehidupan tersebut.
  • Menganggap kejadian, aktivitas, dan segala sesuatu di Kelurahan Segopecel sebagai kesatuan kehidupan yang dijalani, bukan sesuatu yang terlepas-lepas. Dengan kata lain, cenderung holistik.

Persoalan “luar-dalam” di atas memang tak selalu tersurat dalam sebuah penelitian, namun merupakan bagian penting dari sikap dan pandangan peneliti. Seringkali “luar-dalam” ini terabaikan dan di suatu saat menimbulkan perdebatan atau percekcokan tentang kebenaran sebuah penelitian. Sekali lagi, percekcokan itu tak seharusnya terjadi jika sebelum melakukan penelitian setiap peneliti memahami posisinya.

Nah.. apa hubungannya posisi gelandang-luar dan posisi penyerang-dalam dengan sepakbola? .. eh, maksudnya dengan kuantitatif dan kualitatif??

3. Mengukur dan Memahami – Oooo.. beda, thoo??

Berhubung posisinya berbeda, maka seorang peneliti yang memilih berada di luar akan menggunakan tata-cara maupun perangkat-penelitian berbeda dari peneliti yang memilih berada di dalam. Dengan kata lain, keduanya akan menggunakan metode penelitian yang berbeda.

 

Ketika peneliti mengambil posisi di luar, maka diperlukan alat yang akan berada di antara dirinya dengan objek-objek yang ditelitinya . Sedangkan jika peneliti memilih posisi di dalam, maka ia menggunakan dirinya sendiri sebagai “alat” sebab ia berada bersama-sama, bercampur, atau menjadi bagian dari, fenomena yang ditelitinya.

Ketika seseorang menggunakan sebuah alat yang berada di antara dirinya dengan objek penelitiannya, maka ia sebenarnya menggunakan alat ukur. Mengapa disebut “alat ukur”? Sebab alat tersebut mengandung ukuran he he he.. Ukuran itu berupa simbol-simbol yang disepakati untuk memberi ciri objek-objek penelitian. Mengapa perlu “simbol”? Sebab simbol itu mewakili si objek yang dalam hal ini dianggap sebagai fenomena fisik (kebendaan). Mengapa simbol itu perlu “disepakati”? Sebab peneliti itu akan berkomunikasi dengan peneliti lain atau dengan orang yang ditelitinya.

Ketika seseorang menggunakan dirinya sendiri sebagai alat penelitian, maka ia sebenarnya melakukan fungsi dasar seorang manusia yaitu fungsi memahami. Maksudnyaaaaa ???? (dengan nada tinggi). Dijawab dengan nada sabar dan lembut -)Maksudnya, si peneliti menggunakan kemampuan pemahamannya untuk memastikan hakikat dari objek-objek yang ditelitinya. Ia juga menggunakan simbol walaupun simbol itu bukan semata-mata untuk mewakili objek-objek yang diteliti melainkan simbol yang dipakai bersama oleh peneliti dan objek yang diteliti. Maksudnyaaaaa??? (dengan nada tinggi lagi). Dijawab dengan (masih) sabar – Maksudnya, si peneliti menggunakan akal-budinya sendiri, menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang ada di lingkungan yang ditelitinya, dan mengambil kesimpulan-kesimpulan sesuai dengan keadaan di lingkungan itu.

Aduh.. ribet amat, ya!!? (dengan nada kesal). Dijawab dengan nada kesal juga: iya emang ribet dan emang susah!! Makanya, baca terus!! Tapi sekarang istirahat dulu. Saya juga capek neranginnya, tauk!!??

————— BREAK! BREAK! .. but don’t go breaking my heart! (Sir Elton John) ————

4. Tentang “angka” dan “kata”

Saya dan Anda dan jutaan manusia lainnya (dramatis abis!! -))pasti masih penasaran mengenai “mengukur” dan “memahami” yang ribet itu. That’s allright, baby.. kita lanjutkan saja diskusinya.

Dalam penelitian-penelitian bidang informasi dan perpustakaan ada banyak contoh umum yang dapat membantu kita mengerti tentang perbedaan antara “mengukur” dan “memahami”. Salah satu kasus paling jelas adalah dalam information retrieval, khususnya lagi dalam hal recall & precision. Ada rumus yang berbentuk seperti ini:

Relevan

Tidak Relevan

Total

Ditemukan

a (hits)

b (noise)

a + b

Tidak ditemukan

c (misses)

d (rejected)

c + d

Total

a+b

c+d

a+b+c+d

Lalu, ada rumus recall – precision pun menjadi:

Recall = [a/ (a+c)] x 100
Precision = [a/ (a+b)] x 100

Ini sudah pernah ditulis dengan judul “Recall & Precision”. Silakan baca kalau belum baca, di sini: http://iperpin.wordpress.com/2008/03/27/recall-precision/

Perhatikanlah bahwa rumus di atas mengandung angka-angka. Dan angka-angka itu mewakili sesuatu, yakni konsep (atau pengertian) tentang recall dan precision. Ini adalah contoh paling kongkrit dari kegiatan MENGUKUR dan contoh paling kongkrit juga untuk memperlihatkan penggunaan ALAT UKUR. Kalau seorang peneliti menggunakan rumus tersebut maka pastilah peneliti ini sedang melakukan pengukuran, menggunakan alat ukur, terhadap sebuah fenomena yang dia anggap berada di luar dirinya sendiri (yaitu sebuah kejadian pencarian informasi). Pastilah pula ADA JARAK antara si peneliti dan yang diteliti. Posisi si peneliti di luar objek atau fenomena penelitiannya.

Bandingkanlah dengan teori lain yang masih sama-sama mempersoalkan relevansi tetapi dengan sudut pandang berbeda. Misalnya, ketika berbicara tentang sistem informasi Budd menganggap bahwa relevansi harus diletakkan dalam konteks komunikasi dialogis. Perpustakaan dan sistem informasi seyogyannya menciptakan dunia kehidupan yang lebih adem dan lebih tentrem lewat fasilitas dialog. Ini juga pernah dibahas di bawah judul “Karena Berdialog Maka Relevan” di sini: http://iperpin.wordpress.com/2008/06/17/karena-berdialog-maka-relevan/

Jika seorang peneliti mempelajari soal “kehidupan yang lebih adem dan tentrem lewat fasilitas dialog”, maka hampir pasti dia perlu menggunakan pemahamannya dan hampir pasti dia akan “mencerburkan diri” ke dalam kehidupan tersebut untuk betul-betul dapat memahami (atau juga “merasakan”) seberapa “adem” atau seberapa “tentrem” kah suasana di sebuah sistem informasi atau sebuah perpustakaan. Ini adalah contoh kongkrit dari posisi peneliti di dalam objek atau fenomena penelitiannya.

Saya berharap dua contoh di atas cukup gamblang menunjukkan implikasi dari perbedaan posisi peneliti. Kalau belum jelas juga, kebangeten-)

Perhatikanlah bahwa perbedaan dalam posisi dan penggunaan alat menyebabkan perbedaan dalam penggunaan simbol. Para peneliti yang berposisi di luarsangat mengandalkan ANGKA, sementara para peneliti yang berposisi di dalam sangat mengandalkan KATA.

Penggunaan alat ukur menyebabkan seorang peneliti harus betul-betul cermat menggunakan angka sebab angka tersebut dapat menggambarkan sebuah fenomena secara rinci sekaligus secara ringkas. Misalnya, dengan angka seseorang dapat mengatakan bahwa 4,0981 adalah lebih besar dari 4,0900 atau bahwa 6 km/jam adalah lebih cepat daripada 5,981 km/jam. Dengan angka-angka inilah seorang peneliti meyakinkan orang lain bahwa ia sudah menemukan sesuatu yang penting dari penelitiannya.

Sebaliknya, seorang peneliti yang “menceburkan diri” ke dalam kehidupan yang ditelitinya harus betul-betul pandai mengungkapkan kembali pemahamannya. Dia harus dapat menggambarkan kembali suasana kehidupan yang ditelitinya, sedemikian rupa sehingga orang lain juga memahaminya. Melalui kata-katalah seorang peneliti dapat menuangkan kembali semua pemahamannya tentang sebuah fenomena untuk membuktikan bahwa ia telah menemukan sesuatu yang penting dalam penelitiannya.

Jadi, kalau ada dua peneliti -si Polan dan si Murad- meneliti fenomena relevansi, maka ada kemungkinan si Polan menelitinya dari segi recall and precision sementara si Murad dari segi kenyamanan berdialog. Keduanya sama-sama punya alasan yang kuat untuk menggunakan pendekatan yang berbeda, dan keduanya sama-sama punya kewajiban untuk menyampaikan hasil penelitiannya secara jelas. Perbedaannya, si Polan akan “berbicara dengan angka” sementara si Murad akan “berbicara dengan kata”.

Perbedaan antara si Polan dan si Murad ini TIDAK dapat menentukan penelitian siapa yang paling bagus atau paling benar! Kedua orang itu sama-sama benar sejauh menyangkut pilihan pendekatan mereka. Apakah hasil penelitian mereka akan “benar” sangatlah ditentukan oleh bagaimana kedua orang itu melakukan penelitian, bagaimana mereka menjalani prosedur penelitian, dan bagaimana mereka mengungkapkan hasil penelitiannya.

Si Polan akan menggunakan angka dan dengan demikian ia akan mengolah angka-angka tersebut melalui sebuah metode yang sudah amat dikenal oleh umat manusia, yaitu matematika dan statistika. Si Murad akan menggunakan kata-kata dan dengan demikian ia akan mengolah kata-kata tersebut melalui sebuah metode yang juga sudah amat dikenal oleh umat manusia, yaitu bahasa tertulis. Si Polan akan melakukan KUANTIFIKASI terhadap fenomena yang ditelitinya, si Murad akan melakukan KUALIFIKASI terhadap fenomena yang ditelitinya.

Keduanya menghadapi fenomena sama tetapi memilih berada di posisi berbeda. Keduanya adalah peneliti dan dengan demikian harus mengikut semua kaidah ilmiah. Di situlah “indah”-nya dunia penelitian dan di situlah pula letak kerumitannya. Artinya, sesuatu yang indah belum tentu sederhana.. he he he.. tanyakan saja hal ini kepada semua orang yang sedang jatuh cinta. Pasti mereka mengangguk-angguk setuju!!

5. Tata Aturan dan Prosedur Penelitian – serius, nih!?

Memang, setiap penelitian sebenarnya adalah pekerjaan yang rumit -dan setiap peneliti adalah orang yang rumit.. he he he. Terlebih dari itu, setiap penelitian dan setiap peneliti sebenarnya adalah bagian dari sebuah “disiplin” (tata tertib, aturan, prosedur) yang ketat. Penelitian menggunakan kuantitatif maupun kualitatif juga melibatkan banyak aturan dan prosedur yang sering bikin pusing tetapi harus ditaati. Mungkin 90% penyebab frustrasi para pembuat skripsi, tesis, atau disertasi adalah prosedur penelitian -selain tentu saja juga tingkah pembimbing.. -)

Beberapa hal yang patut diperhatikan para peneliti kuaNTitatif maupun kuaLitatif adalah:

  • Logika (kata ini kadang-kadang diucapkan dengan mata melotot!). Secara umum dapat dikatakan bahwa penelitian kuaNTitatif terutama dituntun oleh logika deduktifsedangkan penelitian kuaLitatif cenderung menggunakan logika induktif.

Logika deduktif menuntun peneliti melakukan deduksi terhadap hipotesis berdasarkan pengetahuan sebelumnya tentang suatu bidang atau teori tertentu. Hipotesis tersebut mengandung konsep-konsep yang harus diterjemahkan menjadi hal-hal yang dapat diteliti (dapat dioperasionalisasikan). Peneliti kemudian memastikan bagaimana cara mengumpulkan bukti-bukti yang berkaitan dengan konsep-konsep yang sudah dioperasionalisasikan tersebut. Logika induktif menekankan pentingnya menempatkan teori sebagai hasil dari proses penelitian. Dibandingkan dengan logika deduktif di atas, maka peneliti yang menggunakan logika induktif tidak akan menempatkan teori di atas, atau di awal, proses penelitian. Dalam proses induktif peneliti melakukan inferensi dan generalisasi dari hasil penelitiannya untuk membuat atau merujuk ke sebuah teori. Jadi, kalau di dalam proses deduksi terlihat seperti ini: teori –> penelitian/temuan, maka dalam proses induksi terjadi seperti ini: penelitian –> temuan/teori.

  • Konsep, pengukuran, indikator, dan variabel (untuk penelitian kuaNTitatif).

Konsep merupakan unsur dasar dari teori untuk menggambarkan sesuatu yang dianggap bagian dari fenomena yang kita teliti. Misalnya, “dokumen” adalah sebuah konsep. Di dalam penelitian kuantitatif, konsep harus dapat diukur. Konsep “dokumen”, misalnya, dapat diberi ukuran ketebalan, ukuran keterkaitan, ukuran kepadatan, dan sebagainya. Pengukuran akan membantu peneliti memenuhi prinsip penelitian kuantitatif karena tiga alasan, yaitu: membantu peneliti memperjelas perbedaan antara dua hal yang diteliti, menjaga konsistensi, dan menemukan keterkaitan atau kedekatan-kaitan antara beberapa konsep. Statistika sebenarnya adalah alat bantu untuk ketiga hal ini. Konsep yang dapat diukur merupakan bagian sangat penting dari penelitian kuantitatif, sehingga sangatlah sulit melakukan penelitian ini tanpa konsep dan pengukuran. Selain itu, juga terlihat bahwa antara konsep dan pengukuran ada satu hal lagi yang perlu dipahami seorang peneliti, yaitu “indikator”. Indikator merupakan penerjemahan konsep menjadi petunjuk atau “indikasi”. Penelitian kuantitatif memberikan penekanan kepada penggunaan konsep, indikator, dan ukuran karena dari sini lah para peneliti memperoleh kepastian tentang variasi nilai dari fenomena yang ditelitinya. Variasi nilai ini disebut variabeldan dibedakan dari konstanta (constant), yaitu nilai tetap yang berlaku untuk sebuah fenomena.

  • Konteks, sisi pandang, observasi proses (untuk penelitian kuaLitatif).

Penelitian kualitatif meletakkan makna tentang sesuatu di dalam konteks ketika sesuatu itu diteliti. Penelitian terhadap, misalnya, “membaca buku”, harus dipahami sebagai tindakan yang bermakna sesuai konteks pada saat (waktu) dan di mana (tempat) tindakan membaca itu dilakukan. Akibatnya, seringkali seorang peneliti kualitatif sangat menaruh perhatian kepada apa yang terjadi sebelum dan di sekitar fokus penelitiannya. Ia juga dengan demikian harus selalu menyadari bahwa setiap hal, baik itu sebuah tindakan maupun sebuah kejadian, dapat menimbulkan makna berbeda di tempat dan waktu yang berbeda. Selain itu, seorang peneliti kualitatif seringkali berada di dalam sebuah konteks yang berisi manusia lain selain dirinya. Bagi peneliti kualitatif, adalah sangat penting untuk menemukan makna atau memahami konteks dari sisi pandang orang lain. Jika ia meneliti kegiatan “membaca”, maka ia harus mengatakan bahwa kegiatan membaca yang dilakukan seseorang muncul dalam lingkungan yang haus pengetahuan pribadi, maka orang yang membaca itu (objek penelitian kita) mengerti dan memahami apa yang ia lakukan (kegiatan membaca, yang juga objek penelitian). Lebih lanjut lagi, objek-objek penelitian ini juga mengenakan makna atau artian kepada persoalan yang kita sedang teliti (yaitu makna kata “membaca”) dan kepada lingkungan kehidupannya (yang kita teliti sebagai konteks). Dari sini pula terlihat bahwa peneliti kualitatif biasanya mengandalkan observasi (pengamatan), terutama observasi partisipatif terhadap proses. Pengamatan dilakukan untuk mendekatkan peneliti ke orang-orang yang ditelitinya dan ke situasi atau lingkungan yang ditinggali mereka.

Hal-hal di atas jelas sekali memperlihatkan perbedaan karakter penelitian kuantitatif dan kualitatif, tetapi sama sekali tak menunjukkan penelitian jenis mana yang lebih baik. Ini perlu kita pahami bersama sebab seringkali perbedatan tentang hasil penelitian menjadi “mentah” karena dilandasi oleh pengertian yang salah tentang karakter penelitiannya. Selain itu, hal-hal di atas dan keseluruhan pembahasan tentang jenis penelitian di halaman ini juga menunjukkan bahwa ada fenomena yang tak lebih tepat jika diteliti lewat kuantifikasi, tetapi ada juga fenomena yang sebaiknya diteliti lewat pendekatan kualititif.

Sampai di sini, mudah-mudahan sudah lebih jelas buat kita semua, apa pun pendekatan penelitian dan metode penelitian yang dipakai, kita harus paham benar karakter-karakternya. Barulah, setelah kita melakukan penelitian, dan setelah kita menjelaskan metode penelitiannya, kita BERDEBAT TENTANG HASIL penelitian.

Dari perdebatan itulah nanti muncul kebenaran ilmiah. Gitu, loh-)

Analisis Sitasi :Mengukur mengutip

Sumber : http://iperpin.wordpress.com/

Ditulis oleh putubuku di/pada Oktober 18, 2008

Kehidupan ilmuwan dan pustakawan selalu bergelimang kutipan. Sejak awal kelahiran ilmu pengetahuan dan perpustakaan-perpustakaan ilmiah, kegiatan kutip mengutip sudah lahir. Maka tidaklah mengherankan kalau analisis sitasi dianggap cabang bibliometika dan informetrika yang paling besar, serta dinamakan juga citation studies. Fokusnya adalah pada kaitan antar publikasi (publication-publication link). Lebih tepatnya lagi, kajian sitasi ini mempelajari seberapa banyak atau sering sebuah karya atau seseorang dikutip oleh karya lainnya.

Ini agak sedikit berbeda dari analisis rujukan (reference analysis) yang mempelajari sisi “rujukan-ke” dari kaitan antar publikasi itu (atau sisi si pengutip). Perbedaan lain antara analisis sitasi dan analisis rujukan adalah pada kenyaaan bawa daftar rujukan di setiap dokumen bersifat tetap (dengan demikian berciri “ke dalam” atau intrinsic), sementara daftar rujukan ke sebuah dokumen bersifat “ke luar” atau extrinsic. Daftar rujukan merupakan serangkaian dokumen yang perujukannya dibalik (yang didaftar adalah dokumen yang dirujuk, bukan yang merujuk) serta dapat diperluas sejalan dengan waktu, karena sebuah dokumen bisa saja terus menerus dikutip sepanjang waktu.

Kajian sitasi memanfaatkan pangkalan data indeks sitasi yang dibuat oleh Institute for Scientific Information (ISI), walau ada juga analisis sitasi yang memakai pangkalan data regional atau bahkan lokal.

Analisis sitasi juga mengandung beberapa pengkhususan, yaitu:

Teori pengutipan (the theory of citing).

Sebuah topik khusus yang mempelajari bagaimana teks “berkomunikasi” atau berhubungan dengan teks lainnya. Tentu saja teori ini mengandalkan pengenaan ukuran-ukuran kuantitatif terhadap fungsi itu. Dalam cabang kajian tentang pengutipan ini biasa ada pembahasan tentang bagaimana sebuah dokumen dikutip di dokumen lain karena dokumen yang dikutip itu menyediakan informasi yang relevan terhadap riset yang sedang ditulis di dokumen yang mengutip, misalnya dalam hal metode, landasan pemikiran, dan sebagainya. Pengutipan tidak perlu menyeluruh. Jika kita asumsikan bahwa semua kutipan bersifat serupa dalam hal sumbangannya kepada artikel pengutip, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik:

  • Semakin sering sebuah dokumen dikutip, maka semakin besar lah dokumen itu memberi kontribusi informasi, dan semakin besarlah pengaruhnya pada penelitian yang sedang dilaporkan di dalam dokumen pengutip. Ukuran dari pengaruh atau dampak (impact) ini adalah jumlah pengutipan.
  • Berapa kali sebuah dokumen dikutip dalam satu rentang waktu tertentu menunjukkan berapa banyak informasi di dalam dokumen tersebut berguna untuk sebuah riset. Jika frekuensinya menurun, maka dokumen tersebut semakin tidak relevan, sampai akhirnya menjadi usang alias obsolete.
  • Jika dua dokumen bersama-sama dikutip oleh dokumen ketiga, maka kedua dokumen tersebut bersama-sama memberi sumbangan. Semakin sering dua dokumen dikutip bersama (co-cited), maka semakin dekatlah hubungan kedua dokumen tersebut. Kayak dua orang yang sering jalan bareng pastilah ada “apa-apa”nya.. -)

Kinerja sitasi dan ukuran pemanfaatan (citation performance and usage measure).

Secara awam kita dapat menyimpulkan bahwa frekuensi sebuah dokumen dikutip dapat dianggap sebagai ukuran dari dampak dan pegaruh dokumenter sebut. Premis ini dapat diperluas untuk kumpulan (agregat) dokumen, misalnya untuk karya-karya seorang penulis atau untuk sebuah jurnal tertentu. Daftar indeks sitasi yang diproduksi ISI selalu menggunakan pengukuran ini, yang disebut sebagai impact factor.

Berdasarkan pengukuran ini, ISI menetakan besaran dampak sebuah jurnal tertentu di tahun tertentu, yang merupakan jumlah sitasi di tahun itu ke artikel di jurnal yang bersangkutan pada periode dua tahun sebelumnya, dibagi jumlah total artikel yang muncul di jurnal itu dalam dua tahun. Besaran dampak ini juga dipakai untuk menghitung kontribusi ilmiah dari seseorang ilmuwan, sekelompok ilmuwan, departemen, institusi, displin, dan negara.

Pengukuran besaran dampak ini sebenarnya juga harus memperhitungkan perjalanan waktu dari pengutipan-pengutipan tersebut. Dari sini lah lahir kajian tentang tingkat penggunaan dan keusangan (obsolescence studies). Bagi buku atau monograf, profil penggunaan dan keusangan ini dapat dilihat dari data sirkulasi walau kegunaan ukuran ini agak terbatas karena hanya berlaku untuk lingkungan pengguna perpustakaan bersangkutan.

Untuk artikel ilmiah, jumlah pengutipan adalah lebih baik untuk mengukur manfaat. Namun ada yang harus digarisbawahi, yaitu biasanya ada jarak antara waktu publikasi dan waktu pertama artikel itu dikutip, lalu jumlah sitasi naik sejalan dengan waktu, sampai mencapai titik maksimum (disebut titik impulse atau titik kematangan), dan akhirnya tingkat pengutipan turun sampai menjadi nol, atau mencapai masa keusangan. Inilah yang dipelajari dan dipakai untuk melihat apa yang disebut “profil penuaan dokumen” (aging profiles). Iseng-iseng mungkin juga dapat dipakai untuk membuat “profil penuaan diri sendiri”.. he he he.

Analisis ko-sitasi dan pemetaan literatur (co-citation analysis and literature mapping)

Jika ada beberapa dokumen saling mengutip, tentunya kita dapat mengukurnya sebagai proses pertukaran informasi dan sebagai sebuah fenomena antar disiplin. Apa yang disebut sebagai hubungan pasangan (pairwise relationhsips) antar dokumen dapat dilihat sebagai ukuran kesamaan relevansi, atau kesamaan kandungan subjek. Lalu digunakan lah teknik taksonomi numerik untuk membuat sebuah klasifikasi hirarkis berdasarkan derajat kesamaan sebagai cara memahami sifat hubungan antar dokumen tersebut.

Untuk mengubah matriks kaitan ko-sitasi antar sepasang unit (baik itu dokumen, pengarang, dan jurnal) menjadi klasifkasi hirarkis berdasarkan derajat kesamaan yang terlihat di kaitan itu, diperlukan serangkaian keputusan, yaitu:

  • pemilihan ambang (threshold) sitasi dan ko-sitasi untuk memastikan bahwa matriks data mentah akan menghaslkan struktur persamaan yang masuk akal,
  • pemilihan indeks untuk mengukur derajat kesamaan yang akan didapat dari data ko-sitasi mentah, karena indeks yang berbeda akan menghasilkan hirarki berbeda (diusulkan memakai Jacard Index dan Salton’s cosine formula),
  • pemilihan prosedur pengelompokan (clustering) terhadap data yang sudah ditransformasi. Hasil dan data dalam matriks juga dapat diinterpretasi dengan cara berbeda, yaitu jika angka-angka sudah memadai, maka besaran ketidaksamaan antar objek dapat dipetakan ke bentuk hubungan biner yang memperlihat jarak antar objek, sehingga relasi dalam matriks dapat digambarkan dalam ruang fisik. Untuk mencapai ini, matriks objek dan jarak antar mereka harus ditempatkan dalam kerangka dimensional. Dalam teknik visualisasi ini persoalan utamannya adalah reduksi jumlah dimensi yang diperlukan untuk memasukkan semua jarak antar objek dalam satu gambar. Untuk ini, yang paling umum digunakan adalah multidimensional scalling (MDS).