Pustakawan Di Era Teknologi Informasi Dan Komunikasi (New Paradigm )

Pustakawan Di Era Teknologi Informasi Dan Komunikasi

(New Paradigm )[1]

oleh:

Riah Wiratningsih


[1] Pemenang harapan Pertama Lomba Penulisan Karya Ilmiah Bagi Pustakawan Tahun 2009. Published by Media Pustakawan Vol. 16 No. 3 dan 4 Desember 2009

A. Latar Belakang

Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka.[1] Sebagai sebuah institusi, maka keberadaan perpustakaan tidak bisa lepas dari struktur yang membentuknya, yaitu koleksi, tanaga, sarana dan prasarana, dan sumber dana. Koleksi perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan, dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan pemustaka dengan memperhatikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi dan informasi secara berangsur-angsur menghendaki adanya perubahan dalam pengelolaan perpustakaan. Koleksi tidak lagi dalam bentuk tercetak, namun sudah bergeser pada koleksi non cetak/elektronik, sehingga dalam penanganannya memerlukan sumber daya yang profesional. Demikian pula dalam hal sarana dan prasarana yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik. Kebutuhan fisik meliputi komponen parangkat keras berbasis teknologi informasi, yaitu komponen input, komponen output, komponen pengolah untuk melakukan pengolahan data, dan komponen elektronik digital. Perangkat keras lainnya yang diperlukan adalah jaringan intranet dan internet. Kebutuhan non fisik meliputi perangkat lunak mencakup sekumpulan aturan untuk kelangsungan aktivitas sistem informasi, program aplikasi komputer, program pengembangan, dan program sistem operasi. Tidak bisa dipungkiri semua ini akan bisa berjalan jika didukung dengan adanya dana. Isu pendanaan untuk suatu teknologi baru selalu menjadi masalah bagi perpustakaan. Hal ini juga terjadi pada masa lalu sewaktu pengembangan automasi perpustakaan. Tetapi sekarang infrastruktur TI sudah menjadi salah satu unit dalam pembiayaan perpustakaan. Perpustakaan sebenarnya tidak perlu mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk penyediaan atau pembuatan informasi elektronik. Biaya untuk itu dapat disubsitusikan dengan biaya penyediaan informasi cetak.

Adapun sumber dana untuk masing-masing jenis perpustakaan berbeda antara satu dengan yang lain. Sebagai contoh untuk perpustakaan sekolah alokasi dana paling sedikit 5% dari anggaran belanja operasional sekolah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan. Sedangkan perpustakaan perguruan tinggi alokasi dana sesuai dengan peraturan perundang-undangan guna memenuhi standar nasional pendidikan dan standar nasional perpustakaan.

Perpustakaan ada karena institusi ini dibutuhkan oleh pencari informasi/pemustaka. Informasi dalam hal ini meliputi produk intelektual dan artistik manusia baik tercetak maupun dalam bentuk elektronik. Di dorong oleh kebutuhan informasi (information needs) oleh pemustaka, di mana mereka menginginkan hasil penelusuran secara cepat, tepat, dan mudah. Maka perpustakaan sebagai institusi yang bergerak dalam bidang ilmu pengetahuan dan informasi harus adaptif dan berubah seirama dengan perkembangan pemikiran dan kultur masyarakat pencari informasi tersebut. Kebutuhan akan informasi ini meliputi pencarian (seeking), penemuan (searching), dan pemanfaatan (using), istilah ini lebih dikenal dengan konsep “perilaku informasi” atau information behavior. Di sini jelas bahwa seseorang berperilaku karena terdorong oleh kebutuhan. Asumsi ini menjadi pondasi dari apa yang kita kenal dengan user-oriented paradigm yang bermuara pada user studies.[2]

Salah satu keberhasilan suatu perpustakaan adalah apabila berhasil memenuhi/memuaskan informasi apa yang dibutuhkan oleh pemustaka, untuk itu perpustakaan, dalam hal ini pustakawan perlu melakukan/mempelajari perilaku pencari informasi. Layaknya perusahaan komersial sebelum memasarkan produk, perpustakaan terlebih dahulu fokus masuk ke pasar untuk mengetahui siapa pemakai utama perpustakaan. Setelah mengetahui siapa pemakai utama perpustakaan, maka langkah selanjutnya adalah dengan mencari tahu apa yang diinginkan mereka dengan mempelajari perilaku konsumen/pasar/pemustaka. Produk apa yang mereka butuhkan pada saat ini? Apakah konsumen/pasar/pemustaka menghendaki informasi berupa indeks, katalog induk, abstrak/fulltext, informasi terseleksi, penelusuran sumber-sumber dalam negeri dan luar negeri, atau jenis informasi berbasis internet? Layanan yang seperti apa, dan aturan main yang bagaimana? Dalam hal ini perpustakaan harus peka terhadap konsumen/pasar/pemustaka tentang produk informasi yang mereka butuhkan. Pemustaka di era Teknologi Informasi dan Komunikasi saat ini tidak bisa lepas dari kebutuhan akan informasi berbasis teknologi. Bagaimanapun perpustakaan sebagai lembaga pengelola informasi tertua tidak boleh ketinggalan dengan adanya banyak mesin pencari informasi di internet. Namun sebaliknya perpustakaan harus bisa memanfaatkan internet sebagai media dalam menyebarkan informasi yang dimilikinya.

Dengan terbitnya UU RI No.43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, diharapkan ada implementasi secara nyata baik pada perpustakaan nasional, perpustakaan umum, perpustakaan sekolah, perpustakaan perguruan tinggi, dan perpustakaan khusus. Bahwa perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat dalam rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa. Ini semua tentu tidak terlepas dari peran pusakawan atau pengelola perpustakaan yang terlibat di dalamnya. Karena bagaimanapun bagusnya perpustakaan baik dari sisi gedung yang megah, koleksi yang beragam, teknologi yang digunakan apabila tidak didukung dengan pustakawan yang berkualitas dan profesional tentu peran perpustakaan tersebut tidak aka nada nilainya. Dengan kata lain pustakawan di era teknologi informasi dan komunikasi saat ini adalah “man behind the machine” sebuah perpustakaan sebagai pengelola informasi yang profesioal.[3]

Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran orientasi kebutuhan pemustaka akan informasi berbasis teknologi (internet) seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Di era teknologi saat ini pemustaka membutuhkan informasi (information needs) secara cepat, tepat, dan mudah melalui internet. Menurut pengamatan penulis dan beberapa permintaan dari pemustaka melalui mailing list ataupun kontak pada situs perpustakaan, adapun jenis informasi yang dibutuhkan saat ini adalah informasi berupa penelusuran sumber-sumber dalam negeri maupun luar negeri berupa fulltext baik jurnal maupun publikasi karya ilmiah mahasiswa dan dosen. Namun bila penulis amati belum banyak perpustakaan-perpustakaan di Indonesia yang “berani” mempublish karya ilmiah mahasiswa dan dosen yang bersangkutan. Ini semua tergantung dari sikap rasional dan kebijakan yang dianut oleh masing-masing universitas/perpustakaan. Open publication untuk publikasi ilmiah malah banyak dilakukan oleh universitas swasta. Apalagi di luar negeri open publication karya ilmiah merupakan hal yang sangat wajar ditemui. Nah disinilah kunci peran pustakawan-pustakawan Indonesia sebagai pengelola informasi dalam membawa nasib perpustakaan saat ini dan di era yang akan datang. Diperlukan paradigma baru terhadap kepustakawanan Indonesia bahwa perpustakaan tidak hanya sebagai institusi yang mengumpulkan, mengelola, menyimpan, melestarikan bahan pustaka, tetapi lebih mengutamakan penyebaran informasi sesuai dengan kepentingan pemustaka dengan memperhatikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk itu perlu pergeseran paradigma pengelola perpustakaan/pustakawan dalam mensikapi dinamika perkembangan teknologi yang selalu berubah warna dalam setiap waktu.

B. Permasalahan

Kesiapan perpustakaan dalam menghadapi era teknologi informasi dan komunikasi untuk memenuhi kebutuhan pemustaka, merupakan sebuah tuntutan yang harus direalisasikan, dimana sumber daya manusia dan kemampuan manusia untuk berinteraksi dengan lingkungannya menjadi faktor yang amat penting. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, mau tidak mau organisasi perpustakaan Indonesia harus mengembangkan kiprah kepustakawanannya. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu suatu kupasan tentang paradigma kepustakawanan selama ini. Maka rumusan masalah dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut :

Apa yang dilakukan oleh pengelola perpustakaan/pustakawan dalam membentuk new paradigm terhadap eksistensi perpustakaan dalam dinamika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini?

C. Pembahasan

1. Perpustakaan dan Teknologi Informasi

Dahulu fungsi perustakaan lebih berorientasi pada penyediaan informasi dalam bentuk fisik seperti dokumen tercetak. Dalam hal ini bukan berarti dokumen tercetak harus kita pinggirkan. Ada suatu strategi untuk mengoptimalkan pemanfaatan dokumen tercetak tersebut, yaitu dengan pengemasan informasi produk tercetak menjadi produk berbasis teknologi. Pengemasan informasi adalah kegiatan yang dimulai dari menyeleksi berbagai informasi dari sumber yang berbeda, mendata informasi yang relevan, menganalisis, mensintesa, dan menyajikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan pemakai. Informasi yang dikemas kembali memberi kemudahan dalam penyebaran informasi dan temu kembali informasi.[4] Menurut Webster’s New World College Dictionary (1995) ”Repackaging is to package again in or as in a better or more attractive package.” Jadi pengemasan merupakan sebuah usaha mengemas kembali dalam bentuk yang lebih baik dan menarik. Betapapun lengkapnya suatu koleksi informasi, tidak akan memberikan manfaat bila tidak dikemas kembali dan dikomunikasikan ke pengguna aktual maupun potensial. Harus diakui bahwa kualitas barang ataupun jasa adalah besar sekali pengaruhnya terhadap pemanfaatan informasi tersebut, dalam hal ini masalah kemasan tidak boleh dilupakan. Dengan demikian kemasan yang menarik akan mempercepat pemanfaatan infomasi tersebut. Beberapa bentuk kemasan informasi yang ada sampai saat ini dan relevan digunakan bagi pengguna perpustakaan adalah: [5]

(1) Publikasi cetak; prosiding, kumpulan artikel terpilih, brosur, indeks, bibliografi, dan lain-lain

(2) Media audio-visual; CD-interaktif, VCD, DVD, Video Cassete, dan lain-lain

(3) Pangkalan data; CD database ERIC, CD database Agricola, ProQuest, dan lain sebagainya.

Pemustaka mengenali dan membuat keputusan untuk memanfaatkan sebuah produk (brand) tertentu dari kemasannya. Apabila perpustakaan ingin menarik perhatian pemustaka melalui produk, maka kemasan adalah sarana utama dan pertama yang sangat efektif. Yaitu dikemas dengan menggunakan wadah yang disebut dengan teknologi. Dengan berkembangnya teknologi, perpustakaan dituntut menyediakan sumber-sumber informasi dalam bentuk elektronik. Pemanfaatan informasi dalam bentuk elektronik saat ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup modern oleh masyarakat kita. Hal ini harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan terhadap jumlah dan mutu layanan perpustakaan, resource sharing, mengefektifkan SDM, efisiensi waktu, dan keragaman informasi yang dikelola. Adapun pengemasan produk berbasis teknologi ini bisa dilakukan dengan membangun sebuah digital library, dimana isi dari perpustakaan digital berada dalam suatu komputer server yang bisa ditempatkan secara lokal, maupun di lokasi yang jauh, namun dapat diakses dengan cepat dan mudah lewat jaringan komputer. Menurut Donald J. Waters mendefinisikan perpustakaan digital adalah :

Digital libraries are organizations that provide the resources, including the specialized staff, to select, structure, offer intellectual access to, interpret, distribute, preserve the integrity of, and ensure the persistence over time of collections of digital works so that they are readily and economically available for use by a defined community or set of communities. [6]

Singkatnya koleksi digital sebenarnya dapat dipahami sebagai koleksi informasi dalam bentuk elektronik atau digital yang mungkin terdapat juga dalam koleksi cetak, yang dapat diakses secara luas menggunakan media komputer dan sejenisnya. Koleksi digital disini dapat bermacam-macam, dapat berupa buku elektronik, jurnal elektronik, database online, statistik elektronik, dan lain sebagainya. Saat ini banyak perpustakaan (perguruan tinggi) berlangganan database online yang berisi berbagai macam jurnal elektronik maupun artikel elektronik. Melalui database online ini perpustakaan mampu menyediakan koleksi digital yang dapat diakses oleh pengguna perpustakaan di manapun berada. Ebscohost dan Proquest adalah dua contoh database yang saat ini cukup laris dan menjadi primadona bagi perpustakaan yang ingin menyediakan koleksi digital. Produk-produk elektronik tersebut di atas dalam penyebarannya membutuhkan suatu supporting system yaitu media internet. Internet merupakan hubungan antara jaringan komputer besar maupun kecil yang ada di seluruh dunia dengan menggunakan jaringan komunikasi jarak jauh yang ada. Dari hubungan itulah manusia dapat saling berkomunikasi dengan cepat, mendapatkan informasi yang dibutuhkan sebagai sumber pengetahuan yang berharga, meskipun berada di belahan bumi yang berbeda.Munculnya internet membawa dampak pada perpustakaan sebagai ancaman, bahkan bisa menggeser kedudukan perpustakaan. Menurut Allen and Retzlaff mengatakan bahwa :

Libraries are threatened because, in social terms, the internet might seem to render them less relevant. At the same time, the technologies of information brought to life in the internet make libraries so much more extensive that their relevance has never seemed more obvious.[7]

Keberadaan internet akan menggeser perpustakaan karena internet akan lebih memberi kemudahan kepada pengguna daripada harus masuk ke perpustakaan yang pasti akan dihadapkan dengan segala peraturan dan birokrasinya, apalagi dengan pustakawannya yang sering cemberut daripada sikap menyapanya. Dengan berinternet di rumah, di kantor ataupun di warnet pengguna akan dimanjakan dengan infomasi yang luas, dengan berinternet pengguna bisa menikmati informasi yang kadang tidak ditemukan di perpustakaan. Untuk itu perpustakaan sebagai penyedia jasa informasi perlu melakukan strategi internet, dengan memanfaatkan jasa layanan internet. Namun demikian internet juga memberi kesempatan pada pustakawan dan perpustakaan untuk menjawab kebutuhan informasi. Seperti yang dikemukakan oleh Sullivan :

A survey undertaken in 2001 found that 71 percent of internet users expressed frustration when searching the internet and, at that time, it took about 12 minutes, on average, for users to experience ‘search rage’ (Sullivan 2001). Danny Sullivan (2001), editor of Search EngineWatch, suggests we ‘consider some more “traditional” alternatives. For example, consult an informational professional, such as a librarian.” [8]

2. Kepustakawanan Indonesia

Kepustakawanan atau dalam istilah asing dikenal dengan librarianships pada intinya adalah sebuah profesi, yaitu pustakawan. Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.[9] Sedangkan dalam istilah asing librarianships diartikan sebagai a profession concerned with acquiring and organizing collections of books and related materials in libraries and servicing readers and others with these resources; the position or duties of a librarian. [10] Jadi istilah kepustakawanan mengandung makna tingkatan keterampilan dalam kapasitas melakukan pekerjaan tertentu, yaitu dalam hal pengadaan koleksi, pengolahan, pendayagunaan, dan penyebaran informasi kepada pemakai.

Lynn menyatakan “A Profession delivers esoteric services based on esoteric knowledge systematically formulated and applied to the needs of client”.[11] Suatu profesi menyajikan pelayanan yang hanya dilakukan oleh orang tertentu yang secara sistematis diformulakan dan diterapkan untuk memenuhi kebutuhan para pelanggannya. Dengan demikian tdak semua pekerjaan disebut profesi dan tidak semua orang mampu melaksanankan suatu profesi. Dalam menerapkan aplikasi teknologi di bidang perpustakaan, maka perlu sumber daya manusia yang profesional di bidangnya. Karena teknologi informasi akan sangat berperan dan akan menjadi tulang punggung karya dokumentasi maupun jasa informasi, sehingga antisipasi atas perkembangan teknologi informasi harus menjadi perhatian para pengelola informasi.

Perkembangan TI mengakibatkan semua bidang pekerjaan perpustakaan tidak ada lagi yang tidak mendapat sentuhan ”keajaiban” TI. Keilmuan perpustakaanpun saat ini dituntut mampu mengikuti perubahan sosial pemakainya. Perubahan dalam kebutuhan informasi, perubahan dalam berinteraksi dengan orang lain, dan dalam berkompetisi. Pustakawan perlu menyadari bahwa perlu ditumbuhkan suatu jenis kepustakawanan dengan paradigma-paradigma baru yang mampu menjawab tantangan media elektronik tanpa meninggalkan kepustakawanan konvensional yang memang masih dibutuhkan (hybrid library). Hanya dengan sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini tenaga pengelola perpustakaan dan tenaga fungsional pustakawan yang berkualitaslah (melalui keilmuannya) kita bisa membangun paradigma kepustakawanan Indonesia.

3. New Paradigm Pustakawan

Mensikapi perubahan teknologi informasi yang terjadi, pustakawan harus menjadi pendukung dari kebebasan informasi. Teknologi informasi memberikan harapan besar untuk memberikan akses tak terbatas kepada mereka yang mencari informasi, bahkan kepada mereka yang tidak mampu secara fisik. Melalui aplikasi khusus dan akses dari manapun. Pasal 28F Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan :

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.[12]

Kebebasan untuk memperoleh informasi juga terdapat dalam The Universal Declaration of Human Rights pasal 19 :

Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.[13]

Perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Untuk itu maka informasi yang kita miliki seharusnya bisa dimanfaatkan untuk orang lain tanpa terkecuali.

Sejalan dengan perkembangan dunia modern kekuatan sumber daya manusia merupakan modal yang penting dalam peningkatan pengetahuan dan akses informasi di mana salah satu sarananya adalah perpustakaan. Ilmu pengetahuan adalah kekuatan, seperti tersebut di atas bahwa perpustakaan merupakan tempat terakumulasinya ilmu pengetahuan, maka perpustakaan merupakan kekuatan. Pustakawan dalam hal ini sebagai “man behind the machine” pengelola informasi sudah seharusnya melakukan inovasi dalam berbagai bidang untuk bisa memanfaatkan akumulasi ilmu pengetahuan yang dimilikinya sebagai suatu kekuatan. Betapa besarnya sebuah perpustakaan, namun tidak ada sstupun yang mampu memiliki semua informasi yang dihasilkan oleh ilmuwan dan penulis di seluruh dunia. Bahkan untuk disiplin ilmu yang paling spesifik. Dalam hal ini profesionalisme pustakawan perlu mengeksplor pilihan untuk memperluas akses pemustaka ke sumber informasi dengan membangun kerjasama dengan perpustakaan atau pusat-pusat informasi yang lain. Sebagai sebuah institusi yang memberikan jasa informasi, peranan pustakawan di era teknologi informasi semakin luas. Sudah semestinya dibangun suatu paradigma “take and give” dan budaya “publish or perish”. Untuk perpustakaan-perpustakaan di Indonesia bisa dimulai dengan meng-open-kan publikasi ilmiahnya secara fulltext. Sangat disayangkan apabila berbagai pengetahuan dan penelitian “terkurung”di perpustakaan karena tidak bisa dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Semua tergantung dari kebijakan perpustakaan yang bersangkutan, pada umumnya upaya publikasi berkenaan dengan :

a) Content dan sharing, yaitu tumbuhnya plagiarism

Etika moral (budaya instat) bangsa yang suka mendownload, namun lumpuh melakukan upload. Sehingga TI hanya melahirkan psikologi copy paste, taking-character bukan giving-being. Kita bukan makhluk pencipta tapi pengkonsumsi.

b) Konektifitas internet, tentunya butuh biaya terutama untuk kapasitas bandwidth

c) Aplikasi-Integrity and Interoperability, semua lini dan unit kerja tentunya secara sistematis memiliki layanan berbasis IT yang baik (contoh UBINUS)

Mengaplikasikan hukum fisika dan kimia yaitu “Aksi = Reaksi” yang artinya anda bisa memperoleh sesuatu (take=reaksi) setelah memberikan sejumlah sesuatu terlebih dulu (give=aksi). Ketika kita tidak membuka dan memperkenalkan diri kepada dunia, bagaimana kita bisa dikenal dunia?. Jadi perpustakaan sebagai lembaga penyedia informasi saat ini diwajibkan untuk share and spread informasi yang dimilikinya. Semakin banyak kita memberi semakin kita banyak menerima.

Jadi apa yang harus dilakukan oleh pustakawan dalam mensikapi publikasi open content informasi di perpustakaan? Mari kita tanamkan paradigma baru dengan kampanye anti plagiarism:

Maka hal-hal berikut dapat dijadikan pertimbangan :[14]

a) Mencetak dokumen elektronik (sama seperti memfotokopi) belum berarti plagiarism. Plagiarism terjadi waktu seseorang mengutip atau menggunakan, sedikit atau banyak, tulisan orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Banyak ditemukan bahwa kalau sudah menyebut sumber satu kali di awal kalimat, atau di paragraf pertama, atau di daftar pustaka, berarti sudah memadai; dan oleh karenanya, kutipan di kalimat atau paragraf berikutnya tidak perlu menyebutkan sumber tersebut lagi. Jadi lebih penting mengajarkan orang membuat kutipan secara benar (dari segi format, maupun isi) daripada melarang memfotokopi atau mencetak suatu karya ilmiah

b) Dokumen elektronik bisa juga dibuat hanya untuk dibaca, yaitu dengan cara menyimpannya dengan menggunakan Adobe Acrobat versi 5.0

Masih banyak orang-orang pandai bahkan beberapa yang duduk di kursi pengambil keputusan di dunia pendidikan masih mempunyai paradigma bahwa open content secara online menjadikan orang lebih mudah untuk menjiplaknya atau memberikan angin segar bagi plagiator. Hal ini perlu kita tegaskan, berikut beberapa alasan yang bisa kita jadikan sebagai pertimbangan yaitu :[15]
a) Kontrol lebih mudah
Ketika kita mempublikasikan karya intelektual tugas akhir, skripsi, tesis maupun disertasi

secara online maka kita lebih mudah mengetahui apakah karya tersebut plagiat atau

murni. Dosen Pembimbing tinggal ketik judul/tema yang diajukan mahasiswa melalui

perpustakaan digital. Akan diketahui apakah judul/tema telah d iteliti atau belum.

Isinyapun bisa disinkronkan dengan data perpustakaan digital. Jika ada yang sama, pasti

akan ketahuan seketika. Demikian juga halnya dengan dosen pembimbing, apabila tahu

bahwa karya anak bimbingannya akan dipublikasikan, maka dia akan melakukan

bimbingan dengan sebaik-baiknya (bukan asal-asalan) sehingga akan menghasilkan karya

tulis ilmiah yang berkualitas.

b) Dengan sistem tertutup (tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi tak boleh keluar) yang kita

terapkan sekarang terbukti melahirkan plagiator dan menyebabkan proses identifikasi plagiat menjadi sukar.

c) Dengan sistem online mahasiswa membutuhkan informasi penelitian yang pernah dilakukan untuk menyempurnakan penelitian mereka. Bayangkan betapa berkualitasnya penelitian mereka karena memperoleh referensi berkecukupan dan representatif.

d) Apakah anda tidak bangga jika mahasiswa di seluruh nusantara menggunakan hasil penelitian anda sebagai salah satu referensinya?

Dengan perkataan lain, melarang publikasi elektronik karya ilmiah secara fulltext bukan merupakan tindakan yang tepat untuk mengatasi plagiarism, dan kekuatiran akan penyalahgunaan dokumen dapat diatasi dengan cara ’mengunci’ dokumen elektronik dan meningkatkan pengetahuan tentang cara mengutip yang benar. Dengan demikian, tidak perlu lagi mempertahankan kekuatiran terhadap plagiarism dengan cara menolak melakukan publikasi elektronik. Merupakan sebuah ketidakadilan akademik manakala karya yang ditulis oleh penulis mendapakan gelar, semetara objek tulisannya tetap terkurung. Ternyata side effect publikasi content karya ilmiah memberikan peluang dan ujian bagi bangsa kita. Peluang karena hal ini akan menguji seberapa global kah kita. Seberapa central kita dalam percaturan global? Tantangan karena publikasi menguji kapasitas moral kita. Apakah menjadi bangsa plagiat/pencipta?

D. Kesimpulan

Internet telah mengubah dunia informasi tanpa banyak formalitas. Kekuatan teknologi informasi telah menggiring kita ke keadaan sekarang dan kita akan semakin tergantung padanya. Merupakan suatu tantangan bagi pustakawan adalah untuk memahami dan menentukan posisinya dalam proses perubahan dan beralih dari pemikiran perpustakaan sebagai ruang fisik semata ke suatu kenyataan baru perpustakaan sebagai organisasi yang harus mengembangkan jenis layanan informasi digital. Teknologi informasi ini memberikan kemudahan luar biasa kepada pengguna/pemustaka untuk mengakses informasi lintas batas. Di sisi lain teknologi informasi, juga memberikan kemudahan bagi pengelola informasi/pustakawan untuk mengolah, menyimpan dan menyebarkan informasi yang dimilikinya.

Di sinilah kesempatan dan juga tantangan bagi pengelola perpustakaan/pustakawan dalam menunjukkan jati dirinya, yaitu dengan menciptakan produk atau jasa baru, atau produk lama dengan kemasan baru, kreativitas, inovasi-inovasi baru kita gabungkan dengan pengggunaan teknologi informasi. Upaya ini bertujuan untuk mencapai kredibilitas produk dan jasa (informasi) di mata pemustaka. Apabila produk yang kita sajikan mampu mengatasi permasalahn atau kesulitan pemustaka akan kebutuhan informasi, dengan kata lain produk informasi yang kita layankan mampu memberi kepuasan kepada pemustaka, hal ini akan berdampak secara otomatis pada citra pustakawan. Jadi dengan sendirinya masyrakat pencari informasi yang akan menentukan nilai kepustakawanan Indonesia. Diharapkan dengan paradigma baru tentang “take and give” dan budaya “publish or perish”akan memberikan angin segar bagi kepustakawanan Indonesia.

Daftar Pustaka

Diao Ai Lien. Mengapa Publikasi Elektronik Karya Ilmiah?. 21 Agustus 2009 <http://aurajogja.wordpress.com/

Dictionary reference. 23 September 2009 <http://dictionary.reference.com/browse/librarianship>

Djatin, Jusni & Sri Hartinah. Pengemasan dan Pemasaran Informasi : Pengalaman PDII-LIPI. 15 April 2008 <http://www.universe.net/Website?CREATI~.htm1>

Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 23 September 2009. http://id.wikisource.org/wiki/Perubahan_Kedua_Undang Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_ Tahun_1945

Purwono dan Sri Suharmini. (2006). Perpustakaan dan Kepustakawanan Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.

Putubuku. Informasi : dibutuhkan, diinginkan, diperlukan. 26 September 2009 <http://iperpin.wordpress.com/2008/10/11/informasi-dibutuhkan-diinginkan-diperlukan/

Retzlaff,  Lothar von E-commerce for library promotion and sustainability: how library technicians can market themselves and their library’s services online. The Australian Library Journal 55. 2 May 2006):  p102(29).

Santoso, Joko. Kemas Ulang Informasi Elektronis Sebagai Langkah Inovatif Layanan Perpustakaan :Teknologi Informasi dan Pengaruhnya Pada Pengemasan Informasi. 25 Maret 2008
<
www.pnri.go.id >

The Universal Declaration of Human Rights. 23 September 2009. <http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml>

Undang-Undang Republik Indonesia No.43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan

Waters, Donald J. What are Digital Libraries? CLIR Issues Number 4 – July / August 1998. 20 juni 2008 <http://www.clir.org/pubs/issues/issues04.html>


[1] UU RI No.43/2007 Tentang Perpustakaan BAB I Pasal 1 Ayat 1

[2] Putubuku. Informasi : dibutuhkan, diinginkan, diperlukan. 26 September 2009 <http://iperpin.wordpress.com/2008/10/11/informasi-dibutuhkan-diinginkan-diperlukan/

[3] UU RI No.43/2007 Tentang Perpustakaan BAB I Pasal 2

[4] Joko Santoso. Kemas Ulang Informasi Elektronis Sebagai Langkah Inovatif Layanan Perpustakaan :Teknologi Informasi dan Pengaruhnya Pada Pengemasan Informasi. 25 Maret 2008
<
www.pnri.go.id >

[5] Jusni Djatin & Sri Hartinah. Pengemasan dan Pemasaran Informasi : Pengalaman PDII-LIPI. 15 April 2008 <http://www.universe.net/Website?CREATI~.htm1>

[6] Donald J Waters. What are Digital Libraries? CLIR Issues Number 4 – July / August 1998. 20 juni 2008 <http://www.clir.org/pubs/issues/issues04.html>

[7] Lothar von Retzlaff. E-commerce for library promotion and sustainability: how library technicians can market themselves and their library’s services online. The Australian Library Journal 55. 2 May 2006):  p102(29).

[8] Ibid

[9] UU RI No.43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan BAB I Pasal 1 Ayat 8

[11] Purwono dan Sri Suharmini. (2006). Perpustakaan dan Kepustakawanan Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka. Hal: 34

[12] Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 23 September 2009. <http://id.wikisource.org/wiki/Perubahan_Kedua_Undang Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_ Tahun_1945>

[13] The Universal Declaration of Human Rights. 23 September 2009. <http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml>

[14] Diao Ai Lien. Mengapa Publikasi Elektronik Karya Ilmiah?. 21 Agustus 2009 <http://aurajogja.wordpress.com/>

[15] Ibid